Senin, 11 November 2013

JENAZAH


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
            Persaudaraan dalam Islam tidak terbatas selama hidup, tetapi juga sewaktu meninggal. Persaudaraan sewaktu meninggal yaitu mengenai pengurusan jenazah.  Mengurus jenazah hukumnya fardhu kifayah. Oleh karena itu, sebagai seorang Muslim kita wajib mengetahui hal- hal yang berkaitan dengan pengurusan jenazah.
                        Kewajiban mengurus jenazah akan mendorong setiap  orang untuk mempererat dan meningkatkan persaudaraan sesama muslim selama hidup. Selain itu, membuktikan jika kedudukan manusia walaupun sudah meninggal dunia di hadapan Allah tetap makhluk yang mulia, yang wajib diberi penghormatan dan tetap diperlakukan sebagai manusia yang masih hidup.
            Kewajiban orang Islam terhadap saudaranya yang telah meninggal dunia, antara lain memandikan jenazah, mengafani, menyolatkan, dan mengubur jenazah.
            Memandikan jenazah berarti mensucikan jenazah dari segala kotoran dan najis. Ketika dishalatkan jenazah sudah dalam keadaan bersih. Hal tersebut memberi contoh kepada kita jika Islam mengajarkan tentang  kebersihan sewaktu masih hidup dan ketika sudah meninggal.
            Menyolatkan jenazah berarti mendoakan mayat. Ini menunjukkan betapa tinggi nilai persaudaraan Islam. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw. yang artinya: “Shalatkanlah olehmu orang –orang yang mati.”[1]
            Menguburkan jenazah termasuk tiga hal yang tidak boleh ditunda-tunda. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. yang artinya:”Ada tiga perkara ya Ali yang tidak boleh ditunda-tunda, yaitu: shalat bila telah tiba waktunya, jenazah bila telah jelas kematiannya, dan (mengawinkan) wanita yang tidak bersuami bila telah menemukan jodohnya.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Hakim, dan Ibnu Hibban).[2]
            Masalah pengurusan jenazah sangat penting untuk dibahas, karena mengajarkan mengenai ketentuan-ketentuan dalam pengurusan jenazah. Sehingga pengurusan jenazah dapat dilakukan dengan baik dan benar menurut syara’.
            Melalui makalah ini, kami akan membahas lebih lanjut mengenai cara memandikan dan mengafani jenazah, cara melaksanakan shalat jenazah, syarat, dan rukun-rukunnya, serta tata cara mengubur jenazah.
B.     Maksud dan Tujuan
            Makalah ini dimaksudkan untuk membahas cara memandikan dan mengafani jenazah, cara melaksanakan shalat jenazah, syarat, dan rukun-rukunnya, serta tata cara mengubur jenazah. Agar pengurusan jenazah dapat dilakukan dengan baik dan benar menurut syara’.
C.    Batasan atau Ruang Lingkup
            Dalam makalah ini, Kami membatasi pembahasan hanya mengenai cara memandikan dan mengafani jenazah, cara melaksanakan shalat jenazah, syarat, dan rukun-rukunnya, serta tata cara mengubur jenazah.
D.    Pengertian Isi Judul
1.      Memandikan jenazah adalah membersihkan dan mensucikan tubuh jenazah dari kotoran dan najis yang melekat padanya. Mengafani jenazah adalah menutup atau membungkus tubuh jenazah dengan kain sedikit-sedikitnya selapis kain yang dapat menutup seluruh tubuhnya.
2.      Mensholatkan jenazah berarti mendo’akan jenazah. Isi do’a adalah permohonan agar jenazah mendapat ampunan, kasih sayang, dan terlepas dari siksa kubur dan siksa akhirat.
3.      Mengubur jenazah adalah memasukkan jenazah ke lubang lahat atau lubang tengah. hukumnya fardhu kifayah.






BAB II
PERMASALAHAN
1.      Bagaimana cara memandikan dan mengafani jenazah?
2.      Bagaimana cara melaksanakan shalat jenazah, syarat, dan rukun-rukunnya?
3.      Bagaimana tata cara mengubur jenazah?


























BAB III
PEMBAHASAN
A.  Cara Memandikan dan Mengafani Jenazah
(رواه ابو داود والترمذى)الْبَسُوْ مِن ثِيَابكُمُ الْبَيَاضَ فَإنّهَا مِن خيْرِ ثِيَابِكُمْ وَكَفنوْ فِيْهَا مَوْتاكُمْ
Artinya: ”Pakailah pakaianmu yang putih karena pakaian putih adalah sebaik-baiknya pakaianmu dan kafanilah jenazahmu dengan pakaian putih tersebut.”(HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).[3]
Cara Memandikan Jenazah : [4]
1.     Meletakkan jenazah di tempat yang agak tinggi dari tanah dan di tempat sunyi agar tidak banyak orang melihat atau masuk.
2.     Membersihkan kotoran jika ada, bahkan dianjurkan menekan bagian perut    untuk mengeluarkan kotorannya.
3.    Meratakan air ke seluruh tubuhnya di mulai dari bagian yang kanan ke bagian yang kiri.
4.    Menggosok dengan pelan-pelan pada bagian yang perlu dibersihkan.
5.    Memberikan sabun dan wangi-wangian ketika mayat dimandikan.
6.    Membersihkan mulut, gigi, dan rongga-rongga tubuhnya.
7.    Mewudhukan jenazah. Berdasarkan sabda Nabi Saw. :        
إبْدَأ بِيَمِيْنِهَا وَمَوَا ضِعِ الْوُضُوءِ مِنْهَا
Artinya: “Mulailah (dimandikan) dari sebelah kanan dan dari anggota wudhunya.” (Muttafaq ‘Alaih). [5]
8. Orang yang memandikan, hendaknya memandikan seluruh jasad jenazah tadi sebanyak tiga, lima, tujuh, atau lebih dari itu.[6] Di dalam permulaan memandikan jenazah hendaknya dicampuri dengan daun bidara, yakni disunnahkan bagi orang yang memandikan untuk memberi pertolongan dalam pemandian yang pertama dari beberapa siraman kepada jenazah yang airnya diberi daun bidara atau daun khathmy.[7]
9. Seandainya setelah dimandikan, dari dalam tubuh jenazah tersebut keluar sesuatu, maka jenazah tersebut tidak perlu dimandikan kembali. Jadi yang dibersihkan hanyalah sesuatu yang keluar dari dalam tubuhnya saja. Demikian menurut Hanafi, Maliki, dan pendapat yang paling shahih dalam mazhab Syafi’i. Sedangkan Hambali berpendapat, wajib dimandikan kembali jika benda itu keluar dari kemaluan.[8]
10. Mengeringkan jenazah yang telah dimandikan dengan handuk (HR. Muslim).[9]
Selain itu ada beberapa catatan yang harus diperhatikan :
1.        Orang yang gugur, syahid dalam peperangan membela agama Allah, cukup dimakamkan dengan pakaiannya yang melekat di tubuhnya (tanpa dimandikan, dikafani dan disholatkan).
2.        Orang yang wafat dalam keadaan berihram dirawat seperti biasa tanpa diberi wewangian.
3.        Orang yang syahid selain dalam peperangan membela agama Allah seperti melahirkan, tenggelam, terbakar dirawat seperti biasa.
4.        Jenazah janin yang telah berusia 4 bulan dirawat seperti biasa.
5.        Apabila terdapat halangan untuk memandikan jenazah, maka cukup diganti dengan tayamum.
6.        Bagi orang yang memandikan jenazah disunnahkan untuk mandi. [10]
Cara Mengafani Jenazah :[11]
1.    Jenazah laki-laki sebaiknya tiga lapis kain, tiap-tiap lapis menutupi seluruh badannya. Cara mengafaninya, dihamparkan sehelai-sehelai, dan di atas tiap-tiap lapis itu di taburkan wangi-wangian, seperti kapur barus dan sebagainya, lalu mayat diletakkan di atasnya. Kedua tangannya diletakkan di atas dadanya, tangan kanan di atas tangan kiri, atau kedua tangan itu diluruskan menurut lambungnya (rusuknya).
Sabda Rasulullah saw.:
   وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: ( كُفِّنَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم فِي ثَلَاثَةِ أَثْوَابٍ بِيضٍ سَحُولِيَّةٍ مِنْ كُرْسُفٍ, لَيْسَ فِيهَا قَمِيصٌ وَلَا عِمَامَةٌ. )  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Artinya: Dari Aisyah, “Rasulullah Saw. dikafani dengan tiga lapis kain putih bersih yang terbuat dari kapas (katun), tanpa memakai gamis dan serban.” (sepakat ahli hadits).[12]
2.    Jenazah perempuan sebaiknya dikafani dengan lima lembar kain, yaitu basahan (kain bawah), baju, tutup kepala, kerudung (cadar), dan kain yang menutupi seluruh badannya. Cara mengafaninya, mula-mula dipakaikan kain basahan, baju, tutup kepala, lalu kerudung, kemudian dimasukkan  ke dalam kain yang meliputi seluruh badannya. Di antara beberapa lapisan kain tadi sebaiknya  diberi wangi-wangian, misalnya kapur barus.
3.    Kecuali orang yang mati ketika sedang dalam ihram haji atau umrah, ia dipakaikan pakaian ihram. Kemudian dibungkus dengan dua helai kain lagi, tidak berjahit, dan tidak boleh diberi harum-haruman. Bagi laki-laki bagian kepala tidak ditutup.[13]
B.      Cara Melaksanakan Shalat Jenazah, syarat, dan rukun- rukunnya
            Hukum melakukan shalat jenazah adalah fardlu kifayah. Sabda Rasulullah Saw.    
 (رواه ابن ماجه)          صَلُّوْا عَلَى مَوْ تَاكُمْ
Artinya: “Shalatkanlah olehmu orang –orang yang mati.”[14]
(رواه الدار قطنى) صَلُّوْا عَلَى مَنْ قَالَ لَااِلهَ اِلّااللهُ 
Artinya: “Shalatkanlah olehmu orang yang mengucapkan la ilaha illallah.” (HR. Daruqutni).[15]

Syarat-syarat shalat jenazah
Adapun syarat-syarat shalat jenazah di antaranya:
1.      Shalat jenazah sama halnya dengan shalat yang lain, yaitu harus suci dari hadats dan najis (al-mudatsir:4), menutup aurat (al-a’raf:31), dan menghadap ke kiblat (QS. Al-anbiya’:44).[16]
2.      Jenazah sudah dimandikan dan dikafani.
3.      Letak jenazah di sebelah kiblat orang yang menyalatkan, kecuali jika shalat itu dilaksanakan di atas kuburan atau shalat ghaib.[17]
Rukun shalat jenazah          
            Dalam melakukan shalat jenazah terdapat beberapa perbedaan dengan shalat-shalat pada umumnya. Karena itu di antara rukun-rukunnya ada yang sama dan ada pula yang berbeda. Adapun rukunnya yaitu :[18]
1.      Niat.
Sengaja mengerjakan shalat atas jenazah dengan 4 takbir, menghadap kiblat karena Allah.
Lafadz niat untuk mayat laki-laki:
     اصلى على هذا الميت اربع تكبيرات فرض الكفاية مأموما لله تعالى ألله أكبر
Lafadz niat untuk mayat perempuan:
اصلى على هذه الميتة اربع تكبيرات فرض الكفاية مأموما لله تعالى ألله أكبر
2.      Berdiri bagi yang kuasa.
3.      Bertakbir empat kali.
Rasulullah saw. bersabda:
عَنْ أبِى هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أنّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم نَعَى لِلنَّاسِ النّجَاشِيَ فِى (رواه مسلم)  الْيَوْمِ الّذِى مَاتَ فِيْهِ فَخَرَجَ بِهِمْ اِلَى الْمُصَلّى وَكَبّرَأَرْبَعَ تَكْبِيْرَاتٍ
Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a bahwa Rasulullah saw. memberitahukan kepada masyarakat tentang kematian an-najasyi pada hari kematiannya itu. Lalu beliau pergi ke tempat shalat bersama para sahabat, dan beliau (shalat jenazah) dengan bertakbir empat kali.” (HR. Muslim).[19]
Imam Syafi’i dan Imam Ahmad mengatakan bahwa disyariatkan mengangkat kedua tangan pada tiap-tiap takbir.[20] Menurut pendapat Imam Syafi’i, dalam semua takbir itu disertai mengangkat kedua tangan sejajar dengan pundak.[21]
4.      Membaca Surat Al Fatihah setelah takbir yang pertama.
Sabda Rasulullah saw.:
 لِمَنْ لَمْ يَقْرَأ بِفَا تِحَةِ الكِتَابِ  (متفق عليه) لاصلاة
Artinya: “Tidaklah sah shalat orang yang tidak membaca surat Fatihah.” (Muttafaqun ‘alaihi).[22]
Rasulullah saw. juga besabda:
وَقَالَ الْحَسَنُ يَقْرَأ عَلَى الطّفْلُ بِفَا تِحَةِ الْكِتَابِ وَيَقُوْلُ اللّهُمّ اجْعَلْهُ لَنَا فَرَطًا وَسَلّفًا وَأجْرًا
(رواه البخارى)
Artinya: ”Al-Hasan berkata, hendaklah orang yang menshalati jenazah anak kecil membaca al fatihah dan membaca: ya Allah, jadikanlah ia sebagai pendahuluan (penjemput), tabungan, dan pahala bagi kami.” (HR. Bukhori).[23]
5.      Membaca shalawat atas Nabi saw.
Setelah takbir kedua, kemudian membaca shalawat atas Nabi Muhammad saw.
6.      Membaca do’a untuk si mayat.
Setelah takbir ketiga, kemudian membaca do’a sebagai berikut:     
أللهم اغفرله وارحمه وعا فه واعف عنه       

Sabda Rasulullah saw.:
عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ النبي صلى الله عليه وسلم اِذَا صَلّيْتُمْ عَلَى الْمَيِّتِ فَأخْلِصُوْا لَهُ الدُّعَاءَ  (رواه أبوداود وابن حبان )
Artinya: “Dari Abu Hurairah Nabi Saw. berkata: apabila kamu menyalatkan mayat, hendaklah kamu ikhlaskan doa baginya.”(HR. Abu Dawud dan Ibnu Hibban).[24]
7.      Membaca do’a.
Setelah takbir yang keempat, lalu membaca do’a sebagai berikut:
اللهم لاتحرمنا اجره ولاتفتنا بعده واغفرلنا وله
8.      Mengucapkan salam.
Sabda rasulullah saw.:
مِفْتَاحُ الصَّلاَةِ الطُّهُوْرُوَتَحْرِيْمُهَاالتَّكْبِيْرُوَتَحْلِيْلُهَاالتَّسْلِيْمُ (رواه الشفعى)    
Artinya: “Kunci shalat ialah bersuci, pembukanya adalah takbir dan      penutupnya adalah salam”. (HR. Syafi’i).[25]
Cara Melaksanakan Shalat jenazah
Adapun cara melaksanakan shalat jenazah adalah sebagai berikut:
a.        Apabila jenazah ada di tempat
            Mula-mula meletakkan jenazah di depan orang yang akan menyalatkannya. Jika yang meninggal laki-laki, maka imam hendaknya berdiri tepat di samping kepala mayat. Jika yang meninggal perempuan, maka imam hendaknya berdiri di samping perut mayat.[26]
            Dalam hadits dari Anas diterangkan:
                         أنّهُ صَلّى عَلَى جَنَازَةِ رَجُلٍ فَقَامَ عِنْدَ رَأْسِهِ فَلَمّا رُفِعَتْ أتِيَ بِجَنازَةِ  امْرَأةٍ فَصَلّى عَلَيْهَا فَقَامَ وَسْطَهَا فَسُئِلَ عَنْ ذلِكَ وَقِيْلَ هكَذا كَانَ رسولُ الله يَقُوْمُ مِنَ الرّجُلِ حَيْثَ قُمْتَ وَمِن الْمَرْأةِ حَيْثُ قمْتَ
(رواه احمد وابو دود وابن ماجه ولترمذى عن انس ابن)
            Artinya: “Bahwa ia menyalatkan jenazah seorang laki-laki, ia berdiri di  sisi kepalanya. Setelah jenazah itu diangkat, didatangkan jenazah seorang perempuan, kemudian ia menyalatkannya dan bediri di arah tengahnya. Maka ia ditanya tentang hal itu, kemudian dijawab: Seperti itulah Rasulullah saw. dari jenazah laki-laki di tempat kamu berdiri dan dari jenazah perempuan di tempat kamu berdiri.”(HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dan Tirmidzi dari Anas bin Malik).[27]
            Setelah selesai mengatur shaf, kemudian bertakbir dengan mengangkat kedua tangan sebagaimana pada takbiratul ihram shalat-shalat yang lain, kemudian membaca surat al Fatihah, kemudian bertakbir dan dilanjutkan membaca shalawat atas Nabi saw, kemudian bertakbir dan dilanjutkan dengan membaca do’a, kemudian bertakbir dengan dilanjutkan dengan membaca do’a, kemudian mengucapkan salam.[28]
b.      Shalat Ghaib
            Caranya sama dengan cara menyalatkan jenazah yang ada di hadapannya. Orang melakukan shalat ghaib tetap harus menghadap kiblat, meskipun jenazah yang dishalatkan berada di tempat yang tidak pada arah kiblat. Dalam hadits dari Jabir diterangkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
تُوُفِّيَ الْيَوْمَ رَجُلٌ صَالِحٌ مِنَ الْحَبَشِ فَهَلُمّوْا فَصَلّوْا عَلَيْهِ فَصَفِفْنَا خَلْفهُ فَصَلّى رسولُ الله صلى الله عليه
(رواه البخا رى ومسلم عن جابر) وسلم وَنّحْنُ صُفوْفٌ
Artinya: “Pada hari ini telah meninggal dunia seorang yang shalih dari Habsyi, maka marilah kita menyalatkannya. Kemudian kami berbaris di belakang beliau lalu Rasulullah saw. menyalatkannya dan kami terdiri dari beberapa baris.” (HR. Al Bukhari dan Muslim dari Jabir).[29]
c.       Shalat jenazah di atas kubur
            Dibolehkan seorang untuk menyalatkan jenazah yang telah dikubur, dengan melakukannya di atas kuburnya. Diterangkan dalam sebuah hadits dari Ibnu Abbas bahwa:
  اِنتهى رسولُ الله صلى الله عليه وسلم اِلَى قبْرٍ رَطْبٍ فصَلّى عَلَيْهِ وَصَفّوْا خَلْفهُ وَكَبّرَ اَرْبَعًا رواه البخارى والمسلم عن ابن عباس
Artinya: “Rasulullah saw. sampai ke suatu kubur yang masih basah,  menyalatkannya dan mereka (para sahabat) berbaris di belakang beliau dan bertakbir empat kali.” (HR. Al Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas).[30]
C.    Tata Cara Mengubur Jenazah
            Kewajiban keempat terhadap jenazah adalah menguburkanya hukum menguburkan jenazah adalah fardhu kifayah. dalamnya kuburan sekurang-kurangnya kira-kira tidak tercium bau busuk jenazah itu dari atas kubur dan tidak dapat dibongkar oleh binatang buas, sebab maksud menguburkan jenazah ialah untuk menjaga kehormatan jenazah itu dan menjaga kesehatan orang-orang yang ada disekitar tempat itu.[31]
            Lubang kubur disunatkan memakai lubang lahad kalau tanah kuburan itu keras, tetapi jika tanah kuburan tidak keras, mudah runtuh, seperti tanah yang bercampur dengan pasir, maka lebih baik dibikinkan lubang tengah. Lubanag lahad disini adalah relung di lubang kubur tempat meletakkan jenazah, kemudian ditutup dengan papan, bambu atau sebagainya. Sedangkan lubang tengah adalah lubang kecil di tengah-tengah kubur, kira-kira dapat memuat jenazah saja, kemudian ditutup dengan papan atau lainya.
            Tata cara menurut tiga imam mazhab : kepala orang mati diletakkan di kaki kuburan, lalu ia diturunkan secara perlahan-lahan ke dalam kubur dari arah kaki kuburan. Hanafi berpendapat : jenazah diletakkan disisi kubur sebelah barat (menghadap kiblat), kemudian diturunkan ke kuburan dengan posisi melintang.
            Jika orang yang mati di laut jauh dari tepi pantai, hendaklah diikat pada dua bilah papan, lalu dilemparkan ke laut, jika yang mendiami tepi pantai itu adalah orang-orang islam. Sedangkan jika yang berdiam di tepi pantai adalah orang kafir, hendaklah jenazah diikatkan pada benda yang berat, lalu diilemparkanke laut supaya tenggelam ke dasar laut. Demikian menurut pendapat tiga imam mazhab. Hambali berpendapat : hendaknya didikat dengan benda berat lalu dilemparkan ke dalam laut apabila tidak mungkin dikuburkan.[32]
            Menguburkan jenazah dengan peti hukumnya adalah makruh karena merupakan sesuatu perbuatan yang mubadzir, membuang-buang harta untuk sesuatu yang tidak perlu. Selain itu jenazah tidak langsung dapat menyentuh ke tanah.  Manusia dari tanah dan akan kembali lagi ke tanah. Karena itu, disunnahkan untuk menyentuhkan mayit ke tanah agar nampak nyata bahwa ia telah kembali ke tanah. Maka makruh hukumnya membuat penghalang antara mayit dan tanah.[33]
Beberapa sunnat yang bersangkutan dengan kubur :[34]
1.      Ketika memasukkan jenazah  ke dalam kubur, sunat menutupi bagian atasnya dengan kain atau yang lainya kalau jenazah itu perempuan.
2.      Kuburan itu sunat ditinggikan kira-kira sejengkal dari tanah biasa, agar diketahui.
3.      Kuburan lebih baik didatarkan daripada dimunjungkan. Menurut mazhab syafi’i sunnah kuburan diratakan dan itu yang lebih utama. Sedangkan hanafi , maliki, dan hambali mengatakan : yang lebih utama ditinggikan tanah di atas kubur, karena meratakanya itu telah menjadi syi’ar orang syi’ah.
4.      Menandai kuburan dengan batu atau yang lainya di sebelah kepalanya.
5.      Menaruh kerikil (batu kecil-kecil) di atas kuburan.
6.      Meletakkan pelepah yang basah di atas kuburan.
7.      Menyiram kuburan dengan air.
8.      Sesudah jenazah di kuburkan, orang yang mengantarkanya disunatkan berhenti sebentar untuk mendoakanya(memintakan ampun dan minta supaya ia mempunyai keteguhan dalam menjawab pertanyaan malaikat).



Cara Memasukkan Jenazah  ke Liang Kubur
a.       Menurut Imam Syafi’i dan Hambali, dimulai dengan kakinya, lalu diulurkan sampai kepalanya. Lalu dibuka tali kafan yang ada di bagian kepala dan kaki jenazah.
b.      Menurut Imam Hanafi, jenazah berada di sebelah kiblat liang kubur, lalu diangkat dan dimasukkan. Hal ini berarti bahwa para petugas pemakaman berada dalam posisi menghadap kiblat. Jika tidak dimungkinkan, dimulai dari kakinya atau kepalanya terlebih dahulu.
c.       Menurut madzhab Malikiyah, dari mana saja, tetapi sebaiknya dari arah kiblat. [35]



BAB IV
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, penulis menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
Pertama, Memandikan jenazah adalah membersihkan dan mensucikan tubuh jenazah dari kotoran dan najis yang melekat padanya. Mengafani jenazah adalah menutup atau membungkus tubuh jenazah dengan kain sedikit-sedikitnya selapis kain yang dapat menutup seluruh tubuhnya.
Kedua, Mensholatkan jenazah berarti mendo’akan jenazah. Isi do’a adalah permohonan agar jenazah mendapat ampunan, kasih sayang, dan terlepas dari siksa kubur dan siksa akhirat.
Ketiga, Mengubur jenazah adalah memasukkan jenazah ke lubang lahat atau lubang tengah. hukumnya fardhu kifayah.
B.     Saran
1.    Untuk para pendidik sebaiknya lebih bisa mengenali berbagai macam perubahan yang terjadi dalam lingkungan sosial yang dapat mempengaruhi kualitas peserta didik.
2.    Untuk para calon pendidik sebaiknya selalu mampu mengikuti perkembangan dan perubahan yang terjadi pada lingkungan sosial sehingga dapat mengenali berbagai macam hal yang dapat meningkatkan kemampuan peserta didik seiring dengan berkembangnya  zaman.
3.    Untuk peserta didik sebaiknya mampu meningkatkan pengetahuan yang mendukung perubahan positif  dalam proses pendidikan.
C.    Kata Penutup
            Demikian penulisan makalah kami, kami mengharap semoga bermanfaat bagi penulis khususnya, dan umumnya bagi pembaca.
Penyusun menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam penulisan makalah ini, untuk itu kritik dan saran demi perbaikan dan pengembangan makalah ini sangat kami harapkan.


DAFTAR RUJUKAN
Abu Amar, Imron. Fat-hul Qarib jilid 1. Menara Kudus.
Ad dimasyqi, Syaikh al- ‘Allamah Muhammad bin Abdurrahman. Rahmah al- Ummah fi Ikhtilafil al- ‘Aimmah. Terjemahan oleh Abdullah Zaki Aikaf. 2004. Bandung: Hasyimi.
Al-Albani, M. Nashiruddin. Ringkasan Shahih Bukhori. 2003. Jakarta: Gema Insani.
Al-Albani, M. Nashiruddin. Ringkasan Shahih Muslim. 2005. Jakarta: Gema Insani.
Al Asqalani, Al Hafizh Ibn Hajar. Terjemah Bulughul Maram. Terjemahan oleh Moh. Mahfuddin Aladip. Semarang. PT. Karya Toha Putra.
Al-Maliki, Alawi Abbas & An-Nuri, Hasan Sulaiman. Penjelasan Hukum- hukum Syari’at Islam (Ibaanatul ahkam). 1994. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
As’ad, Ali. Terjemah Fathul Mu’in 1. 1980. Kudus: Menara Kudus.
Bayumi, Muhammad. Fikih Jenazah. Terjemahan oleh Yessi H.M. Basyaruddin. 2004. Jakarta. Pustaka Al-Kautsar.
Faijah, Ijah. Mengurus Jenazah. 2008. Bandung: Madani Prima.
Hasjim, Nur. Fiqih 2. STAI DIPONEGORO TULUNGAGUNG.
Nurohman, Dede, dkk. Modul Praktikum Ibadah. 2012-2013. STAIN Tulungagung.
Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi/ IAIN. 1983. Ilmu Fiqh (jilid 1). Jakarta: Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam.
            Rasjid, Sulaiman. Fiqih Islam (Hukum Fiqh Islam). 2008. Bandung: Penerbit Sinar Baru Algesindo.
            Saleh, Hasan. Kajian Fiqh Nabawi dan Fiqh Kontemporer. 2008. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
            Shiddieqy, Hasbi ash. Pedoman Shalat. 1951. Jakarta: Bulan Bintang.
 Thalib, M. Fiqih Nabawi. Jakarta: Al Ikhlas.
http://rasyid-ic.blogspot.com/2012/03/tata-cara-memandikan-jenazah-dalam.html. diakses pada tanggal 18 September 2013, pukul : 10.15.


[1]Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam (Hukum Fiqh Islam), Bandung, Penerbit Sinar Baru Algesindo, 2008, 171.
[2] H.E. Hasan Saleh, Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh Kontemporer, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2008, 239-240.
[3] Al Hafizh Ibn Hajar Al Asqalani, Terjemah Bulughul Maram,Terjemahan oleh Moh. Mahfuddin Aladip, Semarang, PT. Karya Toha Putra,
[4] Dede Nurohman,dkk, Modul Praktikum Ibadah, STAIN Tulungagung, 2012-2013, 39.
[5] H.E. Hasan Saleh, Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh Kontemporer, 231.
[6] Muhammad Bayumi, Fikih Jenazah, Terjemahan oleh Yessi H.M. Basyaruddin, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2004, 79.
[7] Imron Abu Amar, Fat-hul Qarib jilid 1, Menara Kudus, 148.
[8] Syaikh al- ‘Allamah Muhammad bin Abdurrahman Ad dimasyqi,  Rahmah al- Ummah fi Ikhtilafil al- ‘Aimmah, Terjemahan oleh Abdullah Zaki Aikaf, Bandung, Hasyimi, 2004, 116.
[9] H.E. Hasan Saleh, Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh Kontemporer…,231.
[10]http://rasyid-ic.blogspot.com/2012/03/tata-cara-memandikan-jenazah-dalam.html. diakses pada tanggal 18 September 2013, pukul : 10.15.
[11] Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam (Hukum Fiqh Islam)…,168.
[12] Ijah Faijah, Mengurus Jenazah, Bandung, Madani Prima, 2008, 28.
[13]Ibid., 29.
[14]Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam (Hukum Fiqh Islam)…,171.
[15] Ibid.,
[16] Ijah Faijah, Mengurus Jenazah…, 34.
[17] Ibid.,
[18] Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi/ IAIN, Ilmu Fiqh (jilid 1), Jakarta, Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, 1983, 216.
[19] M. Nashiruddin Al-Albani, Ringkasan Shahih Muslim, Jakarta, Gema Insani, 2005, 231.
[20]Alawi Abbas Al-Maliki & Hasan Sulaimanb An-Nuri, Penjelasan Hukum- hukum Syari’at Islam (Ibaanatul ahkam), Bandung, Sinar Baru Algesindo, 1994, 904.
[21] Syaikh al- ‘Allamah Muhammad bin Abdurrahman Ad dimasyqi,  Rahmah al- Ummah fi Ikhtilafil al- ‘Aimmah…, 119.
[22] M. Thalib, Fiqih Nabawi, Jakarta, Al Ikhlas, 69.
[23] M. Nashiruddin Al-Albani, Ringkasan Shahih Bukhori, Jakarta, Gema Insani, 2003, 429-430.
[24] Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam (Hukum Fiqh Islam)…,172.
[25] M. Thalib, Fiqih Nabawi…, 68-69.
[26] H.E. Hasan Saleh, Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh Kontemporer…, 236.
[27] Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi/ IAIN, Ilmu Fiqh (jilid )…,218.
[28] Ibid., 220.
[29] Ibid., 222.
[30] Ibid.,
[31] Sulaiman Rasjid , Fiqih Islam (hukum fiqih Islam ), Bandung , Sinar Baru Algesindo, 2008, 182.
[32] Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin Abdurrahman ad dimasyqi, Rahmah al-Umamah fi Ikhtilaf al-‘Aimmah, Bandung , Hasyimmi, 2004, 122.
[33] Nur Hasjim, Fiqih 2, STAI DIPONEGORO TULUNGAGUNG, 212.
[34] Sulaiman Rasjid , Fiqih Islam (hukum fiqih Islam )…,183.
[35] Ijah Faijah, Mengurus Jenazah, Bandung, Madani Prima, 2008, 44-45.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar