BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Persaudaraan dalam
Islam tidak terbatas selama hidup, tetapi juga sewaktu meninggal. Persaudaraan
sewaktu meninggal yaitu mengenai pengurusan jenazah. Mengurus jenazah hukumnya fardhu kifayah. Oleh
karena itu, sebagai seorang Muslim kita wajib mengetahui hal- hal yang
berkaitan dengan pengurusan jenazah.
Kewajiban mengurus
jenazah akan mendorong setiap orang
untuk mempererat dan meningkatkan persaudaraan sesama muslim selama hidup.
Selain itu, membuktikan jika kedudukan manusia walaupun sudah meninggal dunia
di hadapan Allah tetap makhluk yang mulia, yang wajib diberi penghormatan dan
tetap diperlakukan sebagai manusia yang masih hidup.
Kewajiban orang
Islam terhadap saudaranya yang telah meninggal dunia, antara lain memandikan
jenazah, mengafani, menyolatkan, dan mengubur jenazah.
Memandikan jenazah
berarti mensucikan jenazah dari segala kotoran dan najis. Ketika dishalatkan
jenazah sudah dalam keadaan bersih. Hal tersebut memberi contoh kepada kita
jika Islam mengajarkan tentang
kebersihan sewaktu masih hidup dan ketika sudah meninggal.
Menyolatkan
jenazah berarti mendoakan mayat. Ini menunjukkan betapa tinggi nilai
persaudaraan Islam. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw. yang artinya: “Shalatkanlah
olehmu orang –orang yang mati.”[1]
Menguburkan
jenazah termasuk tiga hal yang tidak boleh ditunda-tunda. Sebagaimana sabda
Rasulullah saw. yang artinya:”Ada tiga perkara ya Ali yang tidak boleh
ditunda-tunda, yaitu: shalat bila telah tiba waktunya, jenazah bila telah jelas
kematiannya, dan (mengawinkan) wanita yang tidak bersuami bila telah menemukan
jodohnya.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Hakim, dan Ibnu Hibban).[2]
Masalah pengurusan jenazah sangat
penting untuk dibahas, karena mengajarkan mengenai ketentuan-ketentuan dalam
pengurusan jenazah. Sehingga pengurusan jenazah dapat dilakukan dengan baik dan
benar menurut syara’.
Melalui makalah ini, kami akan
membahas lebih lanjut mengenai cara memandikan dan mengafani jenazah, cara
melaksanakan shalat jenazah, syarat, dan rukun-rukunnya, serta tata cara
mengubur jenazah.
B.
Maksud dan Tujuan
Makalah
ini dimaksudkan untuk membahas cara memandikan dan mengafani jenazah, cara
melaksanakan shalat jenazah, syarat, dan rukun-rukunnya, serta tata cara
mengubur jenazah. Agar pengurusan
jenazah dapat dilakukan dengan baik dan benar menurut syara’.
C.
Batasan atau Ruang Lingkup
Dalam
makalah ini, Kami membatasi pembahasan hanya mengenai cara memandikan dan
mengafani jenazah, cara melaksanakan shalat jenazah, syarat, dan
rukun-rukunnya, serta tata cara mengubur jenazah.
D.
Pengertian Isi Judul
1.
Memandikan jenazah adalah membersihkan dan mensucikan tubuh jenazah dari
kotoran dan najis yang melekat padanya. Mengafani jenazah adalah menutup atau
membungkus tubuh jenazah dengan kain sedikit-sedikitnya selapis kain yang dapat
menutup seluruh tubuhnya.
2.
Mensholatkan
jenazah berarti mendo’akan jenazah. Isi
do’a adalah permohonan agar jenazah mendapat ampunan, kasih sayang, dan
terlepas dari siksa kubur dan siksa akhirat.
3.
Mengubur
jenazah adalah memasukkan jenazah ke lubang lahat atau lubang tengah. hukumnya
fardhu kifayah.
BAB II
PERMASALAHAN
1.
Bagaimana cara memandikan dan mengafani jenazah?
2.
Bagaimana cara melaksanakan shalat jenazah, syarat, dan rukun-rukunnya?
3.
Bagaimana tata cara mengubur jenazah?
BAB III
PEMBAHASAN
A. Cara Memandikan dan Mengafani Jenazah
(رواه ابو داود والترمذى)الْبَسُوْ مِن ثِيَابكُمُ الْبَيَاضَ
فَإنّهَا مِن خيْرِ ثِيَابِكُمْ وَكَفنوْ فِيْهَا مَوْتاكُمْ
Artinya:
”Pakailah pakaianmu yang putih karena pakaian putih adalah sebaik-baiknya
pakaianmu dan kafanilah jenazahmu dengan pakaian putih tersebut.”(HR. Abu
Dawud dan Tirmidzi).[3]
1.
Meletakkan
jenazah di tempat yang agak tinggi dari tanah dan di tempat sunyi agar tidak
banyak orang melihat atau masuk.
2.
Membersihkan
kotoran jika ada, bahkan dianjurkan menekan bagian perut untuk mengeluarkan kotorannya.
3.
Meratakan
air ke seluruh tubuhnya di mulai dari bagian yang kanan ke bagian yang kiri.
4.
Menggosok
dengan pelan-pelan pada bagian yang perlu dibersihkan.
5.
Memberikan
sabun dan wangi-wangian ketika mayat dimandikan.
6.
Membersihkan
mulut, gigi, dan rongga-rongga tubuhnya.
7.
Mewudhukan
jenazah. Berdasarkan sabda Nabi Saw. :
إبْدَأ
بِيَمِيْنِهَا وَمَوَا ضِعِ الْوُضُوءِ مِنْهَا
Artinya: “Mulailah (dimandikan) dari sebelah kanan dan dari anggota wudhunya.” (Muttafaq ‘Alaih). [5]
8. Orang yang memandikan, hendaknya memandikan seluruh jasad
jenazah tadi sebanyak tiga, lima, tujuh, atau lebih dari itu.[6] Di dalam permulaan
memandikan jenazah hendaknya dicampuri dengan daun bidara, yakni disunnahkan
bagi orang yang memandikan untuk memberi pertolongan dalam pemandian yang
pertama dari beberapa siraman kepada jenazah yang airnya diberi daun bidara
atau daun khathmy.[7]
9. Seandainya
setelah dimandikan, dari dalam tubuh jenazah tersebut keluar sesuatu, maka
jenazah tersebut tidak perlu dimandikan kembali. Jadi yang dibersihkan hanyalah
sesuatu yang keluar dari dalam tubuhnya saja. Demikian menurut Hanafi, Maliki,
dan pendapat yang paling shahih dalam mazhab Syafi’i. Sedangkan Hambali
berpendapat, wajib dimandikan kembali jika benda itu keluar dari kemaluan.[8]
Selain itu ada beberapa
catatan yang harus diperhatikan :
1.
Orang yang gugur, syahid dalam
peperangan membela agama Allah, cukup dimakamkan dengan pakaiannya yang melekat
di tubuhnya (tanpa dimandikan, dikafani dan disholatkan).
3.
Orang yang syahid selain dalam peperangan
membela agama Allah seperti melahirkan, tenggelam, terbakar dirawat seperti
biasa.
4.
Jenazah janin yang telah berusia 4 bulan
dirawat seperti biasa.
6.
Bagi orang yang memandikan jenazah disunnahkan untuk mandi. [10]
1.
Jenazah
laki-laki sebaiknya tiga lapis kain, tiap-tiap lapis menutupi seluruh badannya.
Cara mengafaninya, dihamparkan sehelai-sehelai, dan di atas tiap-tiap lapis itu
di taburkan wangi-wangian, seperti kapur barus dan sebagainya, lalu mayat
diletakkan di atasnya. Kedua tangannya diletakkan di atas dadanya, tangan kanan
di atas tangan kiri, atau kedua tangan itu diluruskan menurut lambungnya
(rusuknya).
Sabda Rasulullah saw.:
وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ
اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: ( كُفِّنَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم فِي
ثَلَاثَةِ أَثْوَابٍ بِيضٍ سَحُولِيَّةٍ مِنْ كُرْسُفٍ, لَيْسَ فِيهَا قَمِيصٌ
وَلَا عِمَامَةٌ. ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Artinya: Dari
Aisyah, “Rasulullah Saw. dikafani dengan tiga lapis kain putih bersih yang
terbuat dari kapas (katun), tanpa memakai gamis dan serban.” (sepakat ahli
hadits).[12]
2.
Jenazah
perempuan sebaiknya dikafani dengan lima lembar kain, yaitu basahan (kain
bawah), baju, tutup kepala, kerudung (cadar), dan kain yang menutupi seluruh
badannya. Cara mengafaninya, mula-mula dipakaikan kain basahan, baju, tutup
kepala, lalu kerudung, kemudian dimasukkan
ke dalam kain yang meliputi seluruh badannya. Di antara beberapa lapisan
kain tadi sebaiknya diberi
wangi-wangian, misalnya kapur barus.
3.
Kecuali
orang yang mati ketika sedang dalam ihram haji atau umrah, ia dipakaikan
pakaian ihram. Kemudian dibungkus dengan dua helai kain lagi, tidak berjahit, dan tidak boleh diberi harum-haruman. Bagi laki-laki bagian kepala tidak ditutup.[13]
B.
Cara Melaksanakan Shalat Jenazah, syarat, dan
rukun- rukunnya
Hukum melakukan shalat jenazah
adalah fardlu kifayah. Sabda Rasulullah Saw.
(رواه ابن
ماجه) صَلُّوْا عَلَى مَوْ تَاكُمْ
Artinya:
“Shalatkanlah olehmu orang –orang yang mati.”[14]
(رواه الدار قطنى) صَلُّوْا
عَلَى مَنْ قَالَ لَااِلهَ اِلّااللهُ
Artinya: “Shalatkanlah
olehmu orang yang mengucapkan la ilaha illallah.” (HR. Daruqutni).[15]
Syarat-syarat
shalat jenazah
Adapun syarat-syarat shalat jenazah di antaranya:
1.
Shalat jenazah sama halnya dengan shalat yang lain, yaitu harus suci
dari hadats dan najis (al-mudatsir:4), menutup aurat (al-a’raf:31), dan
menghadap ke kiblat (QS.
Al-anbiya’:44).[16]
2.
Jenazah sudah dimandikan dan dikafani.
3.
Letak
jenazah di sebelah kiblat orang yang menyalatkan, kecuali jika shalat itu
dilaksanakan di atas kuburan atau shalat ghaib.[17]
Rukun
shalat jenazah
Dalam melakukan shalat jenazah terdapat beberapa perbedaan dengan
shalat-shalat pada umumnya. Karena itu di antara rukun-rukunnya ada yang sama
dan ada pula yang berbeda. Adapun rukunnya yaitu :[18]
1.
Niat.
Sengaja mengerjakan shalat atas jenazah dengan 4 takbir, menghadap
kiblat karena Allah.
Lafadz niat untuk mayat laki-laki:
اصلى على
هذا الميت اربع تكبيرات فرض الكفاية مأموما لله تعالى ألله أكبر
Lafadz niat untuk mayat perempuan:
اصلى على
هذه الميتة اربع تكبيرات فرض الكفاية مأموما لله تعالى ألله أكبر
2.
Berdiri
bagi yang kuasa.
3.
Bertakbir
empat kali.
Rasulullah saw. bersabda:
عَنْ أبِى هُرَيْرَةَ
رضي الله عنه أنّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم نَعَى لِلنَّاسِ النّجَاشِيَ فِى
(رواه
مسلم) الْيَوْمِ الّذِى مَاتَ فِيْهِ فَخَرَجَ بِهِمْ
اِلَى الْمُصَلّى وَكَبّرَأَرْبَعَ تَكْبِيْرَاتٍ
Artinya: “Dari
Abu Hurairah r.a bahwa Rasulullah saw. memberitahukan kepada masyarakat tentang
kematian an-najasyi pada hari kematiannya itu. Lalu beliau pergi ke tempat
shalat bersama para sahabat, dan beliau (shalat jenazah) dengan bertakbir empat
kali.” (HR. Muslim).[19]
Imam
Syafi’i dan Imam Ahmad mengatakan bahwa disyariatkan mengangkat kedua tangan
pada tiap-tiap takbir.[20]
Menurut pendapat Imam Syafi’i, dalam semua takbir itu disertai mengangkat kedua
tangan sejajar dengan pundak.[21]
4.
Membaca
Surat Al Fatihah setelah takbir yang pertama.
Sabda Rasulullah saw.:
لِمَنْ لَمْ
يَقْرَأ بِفَا تِحَةِ الكِتَابِ (متفق
عليه) لاصلاة
Artinya: “Tidaklah sah shalat orang yang tidak membaca surat
Fatihah.” (Muttafaqun ‘alaihi).[22]
Rasulullah saw. juga besabda:
وَقَالَ الْحَسَنُ
يَقْرَأ عَلَى الطّفْلُ بِفَا تِحَةِ الْكِتَابِ وَيَقُوْلُ اللّهُمّ اجْعَلْهُ لَنَا
فَرَطًا وَسَلّفًا وَأجْرًا
(رواه البخارى)
Artinya: ”Al-Hasan berkata, hendaklah orang yang menshalati jenazah
anak kecil membaca al fatihah dan membaca: ya Allah, jadikanlah ia sebagai
pendahuluan (penjemput), tabungan, dan pahala bagi kami.” (HR. Bukhori).[23]
5.
Membaca
shalawat atas Nabi saw.
Setelah takbir kedua, kemudian membaca shalawat atas Nabi Muhammad saw.
6.
Membaca
do’a untuk si mayat.
Setelah takbir ketiga, kemudian membaca do’a sebagai berikut:
أللهم
اغفرله وارحمه وعا فه واعف عنه
Sabda Rasulullah saw.:
عَنْ اَبِيْ
هُرَيْرَةَ قَالَ النبي صلى الله عليه وسلم اِذَا صَلّيْتُمْ عَلَى الْمَيِّتِ فَأخْلِصُوْا
لَهُ الدُّعَاءَ (رواه أبوداود وابن حبان )
Artinya: “Dari Abu Hurairah Nabi Saw. berkata: apabila kamu
menyalatkan mayat, hendaklah kamu ikhlaskan doa baginya.”(HR. Abu Dawud dan
Ibnu Hibban).[24]
7.
Membaca
do’a.
Setelah takbir
yang keempat, lalu
membaca do’a sebagai berikut:
اللهم لاتحرمنا اجره ولاتفتنا بعده
واغفرلنا وله
8.
Mengucapkan
salam.
Sabda rasulullah saw.:
مِفْتَاحُ الصَّلاَةِ
الطُّهُوْرُوَتَحْرِيْمُهَاالتَّكْبِيْرُوَتَحْلِيْلُهَاالتَّسْلِيْمُ (رواه
الشفعى)
Artinya: “Kunci shalat ialah
bersuci, pembukanya adalah takbir dan penutupnya adalah salam”. (HR. Syafi’i).[25]
Cara
Melaksanakan Shalat jenazah
Adapun cara melaksanakan shalat jenazah adalah sebagai berikut:
a. Apabila
jenazah ada di tempat
Mula-mula
meletakkan jenazah di depan orang yang akan menyalatkannya. Jika yang meninggal
laki-laki, maka imam hendaknya berdiri tepat di samping kepala mayat. Jika yang
meninggal perempuan, maka imam hendaknya berdiri di samping perut mayat.[26]
Dalam
hadits dari Anas diterangkan:
أنّهُ صَلّى عَلَى جَنَازَةِ
رَجُلٍ فَقَامَ عِنْدَ رَأْسِهِ فَلَمّا رُفِعَتْ أتِيَ بِجَنازَةِ امْرَأةٍ فَصَلّى عَلَيْهَا فَقَامَ وَسْطَهَا
فَسُئِلَ عَنْ ذلِكَ وَقِيْلَ هكَذا كَانَ رسولُ الله يَقُوْمُ مِنَ الرّجُلِ حَيْثَ
قُمْتَ وَمِن الْمَرْأةِ حَيْثُ قمْتَ
(رواه
احمد وابو دود وابن ماجه ولترمذى عن انس ابن)
Artinya: “Bahwa ia menyalatkan
jenazah seorang laki-laki, ia berdiri di sisi kepalanya. Setelah jenazah itu diangkat,
didatangkan jenazah seorang perempuan, kemudian ia menyalatkannya dan bediri di
arah tengahnya. Maka ia ditanya tentang hal itu, kemudian dijawab: Seperti
itulah Rasulullah saw. dari jenazah laki-laki di tempat kamu berdiri dan dari
jenazah perempuan di tempat kamu berdiri.”(HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah
dan Tirmidzi dari Anas bin Malik).[27]
Setelah
selesai mengatur shaf, kemudian bertakbir dengan mengangkat kedua tangan
sebagaimana pada takbiratul ihram shalat-shalat yang lain, kemudian membaca
surat al Fatihah, kemudian bertakbir dan dilanjutkan membaca shalawat atas Nabi
saw, kemudian bertakbir dan dilanjutkan dengan membaca do’a, kemudian bertakbir
dengan dilanjutkan dengan membaca do’a, kemudian mengucapkan salam.[28]
b. Shalat Ghaib
Caranya sama dengan cara menyalatkan
jenazah yang ada di hadapannya. Orang melakukan shalat ghaib tetap harus menghadap
kiblat, meskipun jenazah yang dishalatkan berada di tempat yang tidak pada arah
kiblat. Dalam hadits dari Jabir diterangkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
تُوُفِّيَ الْيَوْمَ رَجُلٌ صَالِحٌ مِنَ الْحَبَشِ فَهَلُمّوْا فَصَلّوْا
عَلَيْهِ فَصَفِفْنَا خَلْفهُ فَصَلّى رسولُ الله صلى الله عليه
(رواه البخا رى ومسلم عن جابر) وسلم وَنّحْنُ صُفوْفٌ
Artinya: “Pada
hari ini telah meninggal dunia seorang yang shalih dari Habsyi, maka marilah
kita menyalatkannya. Kemudian kami berbaris di belakang beliau lalu Rasulullah
saw. menyalatkannya dan kami terdiri dari beberapa baris.” (HR. Al Bukhari
dan Muslim dari Jabir).[29]
c.
Shalat jenazah di atas kubur
Dibolehkan seorang
untuk menyalatkan jenazah yang telah dikubur, dengan melakukannya di atas
kuburnya. Diterangkan dalam sebuah hadits dari Ibnu Abbas bahwa:
اِنتهى رسولُ الله صلى الله عليه
وسلم اِلَى قبْرٍ رَطْبٍ فصَلّى عَلَيْهِ وَصَفّوْا خَلْفهُ وَكَبّرَ اَرْبَعًا
رواه البخارى والمسلم عن ابن عباس
Artinya: “Rasulullah
saw. sampai ke suatu kubur yang masih basah,
menyalatkannya dan mereka (para sahabat) berbaris di belakang beliau dan
bertakbir empat kali.” (HR. Al Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas).[30]
C.
Tata Cara Mengubur Jenazah
Kewajiban keempat terhadap
jenazah adalah menguburkanya hukum menguburkan jenazah adalah fardhu kifayah.
dalamnya kuburan sekurang-kurangnya kira-kira tidak tercium bau busuk jenazah
itu dari atas kubur dan tidak dapat dibongkar oleh binatang buas, sebab maksud
menguburkan jenazah ialah untuk menjaga kehormatan jenazah itu dan menjaga
kesehatan orang-orang yang ada disekitar tempat itu.[31]
Lubang kubur disunatkan
memakai lubang lahad kalau tanah kuburan itu keras, tetapi jika tanah kuburan
tidak keras, mudah runtuh, seperti tanah yang bercampur dengan pasir, maka
lebih baik dibikinkan lubang tengah. Lubanag
lahad disini adalah relung di lubang kubur tempat meletakkan jenazah, kemudian
ditutup dengan papan, bambu atau sebagainya. Sedangkan lubang tengah adalah
lubang kecil di tengah-tengah kubur, kira-kira dapat memuat jenazah saja,
kemudian ditutup dengan papan atau lainya.
Tata cara menurut tiga imam mazhab :
kepala orang mati diletakkan di kaki kuburan, lalu ia diturunkan secara
perlahan-lahan ke dalam kubur dari arah kaki kuburan. Hanafi berpendapat :
jenazah diletakkan disisi kubur sebelah barat (menghadap kiblat), kemudian
diturunkan ke kuburan dengan posisi melintang.
Jika orang yang mati di laut jauh
dari tepi pantai, hendaklah diikat pada dua bilah papan, lalu dilemparkan ke
laut, jika yang mendiami tepi pantai itu adalah orang-orang islam. Sedangkan
jika yang berdiam di tepi pantai adalah orang kafir, hendaklah jenazah diikatkan
pada benda yang berat, lalu diilemparkanke laut supaya tenggelam ke dasar laut.
Demikian menurut pendapat tiga imam mazhab. Hambali berpendapat : hendaknya
didikat dengan benda berat lalu dilemparkan ke dalam laut apabila tidak mungkin
dikuburkan.[32]
Menguburkan jenazah dengan peti
hukumnya adalah makruh karena merupakan sesuatu perbuatan yang mubadzir,
membuang-buang harta untuk sesuatu yang tidak perlu. Selain itu jenazah tidak
langsung dapat menyentuh ke tanah.
Manusia dari tanah dan akan kembali lagi ke tanah. Karena itu,
disunnahkan untuk menyentuhkan mayit ke tanah agar nampak nyata bahwa ia telah
kembali ke tanah. Maka makruh hukumnya membuat penghalang antara mayit dan
tanah.[33]
Beberapa sunnat
yang bersangkutan dengan kubur :[34]
1.
Ketika
memasukkan jenazah ke dalam kubur, sunat
menutupi bagian atasnya dengan kain atau yang lainya kalau jenazah itu
perempuan.
2.
Kuburan
itu sunat ditinggikan kira-kira sejengkal dari tanah biasa, agar diketahui.
3.
Kuburan
lebih baik didatarkan daripada dimunjungkan. Menurut mazhab syafi’i sunnah
kuburan diratakan dan itu yang lebih utama. Sedangkan hanafi , maliki, dan
hambali mengatakan : yang lebih utama ditinggikan tanah di atas kubur, karena
meratakanya itu telah menjadi syi’ar orang syi’ah.
4.
Menandai
kuburan dengan batu atau yang lainya di sebelah kepalanya.
5.
Menaruh
kerikil (batu kecil-kecil) di atas kuburan.
6.
Meletakkan
pelepah yang basah di atas kuburan.
7.
Menyiram
kuburan dengan air.
8.
Sesudah
jenazah di kuburkan, orang yang mengantarkanya disunatkan berhenti sebentar
untuk mendoakanya(memintakan ampun dan minta supaya ia mempunyai keteguhan
dalam menjawab pertanyaan malaikat).
Cara Memasukkan Jenazah ke
Liang Kubur
a.
Menurut Imam Syafi’i dan Hambali, dimulai dengan kakinya, lalu diulurkan
sampai kepalanya. Lalu dibuka tali kafan yang ada di bagian kepala dan kaki
jenazah.
b.
Menurut Imam Hanafi, jenazah berada di sebelah kiblat liang kubur, lalu
diangkat dan dimasukkan. Hal ini berarti bahwa para petugas pemakaman berada
dalam posisi menghadap kiblat. Jika tidak dimungkinkan, dimulai dari kakinya
atau kepalanya terlebih dahulu.
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
uraian di atas, penulis menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
Pertama, Memandikan jenazah adalah membersihkan dan mensucikan tubuh
jenazah dari kotoran dan najis yang melekat padanya. Mengafani jenazah adalah
menutup atau membungkus tubuh jenazah dengan kain sedikit-sedikitnya selapis
kain yang dapat menutup seluruh tubuhnya.
Kedua, Mensholatkan jenazah berarti mendo’akan jenazah. Isi do’a adalah
permohonan agar jenazah mendapat ampunan, kasih sayang, dan terlepas dari siksa
kubur dan siksa akhirat.
Ketiga, Mengubur jenazah adalah memasukkan jenazah ke lubang lahat atau
lubang tengah. hukumnya fardhu kifayah.
B.
Saran
1. Untuk para pendidik sebaiknya lebih bisa mengenali berbagai macam
perubahan yang terjadi dalam lingkungan sosial yang dapat mempengaruhi kualitas
peserta didik.
2.
Untuk
para calon pendidik sebaiknya selalu mampu mengikuti perkembangan dan perubahan
yang terjadi pada lingkungan sosial sehingga dapat mengenali berbagai macam hal
yang dapat meningkatkan kemampuan peserta didik seiring dengan
berkembangnya zaman.
3. Untuk peserta didik sebaiknya mampu meningkatkan pengetahuan yang
mendukung perubahan positif dalam proses
pendidikan.
C.
Kata Penutup
Demikian penulisan makalah kami, kami mengharap semoga
bermanfaat bagi penulis khususnya, dan umumnya bagi pembaca.
Penyusun menyadari
bahwa masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam penulisan makalah ini, untuk
itu kritik dan saran demi perbaikan dan pengembangan makalah ini sangat kami
harapkan.
DAFTAR RUJUKAN
Abu Amar, Imron. Fat-hul Qarib jilid 1. Menara Kudus.
Ad
dimasyqi, Syaikh al- ‘Allamah Muhammad bin Abdurrahman. Rahmah al- Ummah fi
Ikhtilafil al- ‘Aimmah. Terjemahan oleh Abdullah Zaki Aikaf. 2004. Bandung:
Hasyimi.
Al-Albani,
M. Nashiruddin. Ringkasan Shahih Bukhori. 2003. Jakarta: Gema Insani.
Al-Albani,
M. Nashiruddin. Ringkasan Shahih Muslim. 2005. Jakarta: Gema Insani.
Al
Asqalani, Al Hafizh Ibn Hajar. Terjemah Bulughul Maram. Terjemahan oleh
Moh. Mahfuddin Aladip. Semarang. PT. Karya Toha Putra.
Al-Maliki,
Alawi Abbas & An-Nuri, Hasan Sulaiman. Penjelasan Hukum- hukum Syari’at
Islam (Ibaanatul ahkam). 1994. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
As’ad,
Ali. Terjemah Fathul Mu’in 1. 1980. Kudus: Menara Kudus.
Bayumi,
Muhammad. Fikih Jenazah. Terjemahan oleh Yessi H.M. Basyaruddin. 2004.
Jakarta. Pustaka Al-Kautsar.
Faijah,
Ijah. Mengurus Jenazah. 2008. Bandung: Madani Prima.
Hasjim, Nur. Fiqih 2. STAI DIPONEGORO TULUNGAGUNG.
Nurohman, Dede, dkk. Modul Praktikum Ibadah. 2012-2013. STAIN
Tulungagung.
Proyek
Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi/ IAIN. 1983. Ilmu Fiqh
(jilid 1). Jakarta: Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam.
Rasjid, Sulaiman. Fiqih Islam
(Hukum Fiqh Islam). 2008. Bandung: Penerbit Sinar Baru Algesindo.
Saleh, Hasan. Kajian Fiqh Nabawi
dan Fiqh Kontemporer. 2008. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Shiddieqy, Hasbi ash. Pedoman
Shalat. 1951. Jakarta: Bulan Bintang.
Thalib, M. Fiqih Nabawi. Jakarta: Al
Ikhlas.
http://rasyid-ic.blogspot.com/2012/03/tata-cara-memandikan-jenazah-dalam.html.
diakses pada tanggal 18 September 2013, pukul : 10.15.
[1]Sulaiman
Rasjid, Fiqih Islam (Hukum Fiqh Islam), Bandung, Penerbit Sinar Baru
Algesindo, 2008, 171.
[2] H.E. Hasan Saleh, Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh Kontemporer,
Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2008, 239-240.
[3] Al Hafizh Ibn Hajar Al Asqalani, Terjemah
Bulughul Maram,Terjemahan oleh Moh. Mahfuddin Aladip, Semarang, PT. Karya
Toha Putra,
[4] Dede Nurohman,dkk, Modul Praktikum Ibadah, STAIN Tulungagung, 2012-2013, 39.
[6] Muhammad Bayumi, Fikih Jenazah, Terjemahan oleh Yessi H.M. Basyaruddin, Jakarta,
Pustaka Al-Kautsar, 2004, 79.
[7] Imron Abu Amar, Fat-hul Qarib jilid 1, Menara Kudus, 148.
[8] Syaikh al- ‘Allamah Muhammad bin Abdurrahman Ad dimasyqi, Rahmah al- Ummah fi Ikhtilafil al- ‘Aimmah,
Terjemahan oleh Abdullah Zaki Aikaf, Bandung, Hasyimi, 2004, 116.
[9] H.E. Hasan Saleh, Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh Kontemporer…,231.
[10]http://rasyid-ic.blogspot.com/2012/03/tata-cara-memandikan-jenazah-dalam.html.
diakses pada tanggal 18 September 2013, pukul : 10.15.
[11] Sulaiman
Rasjid, Fiqih Islam (Hukum Fiqh Islam)…,168.
[12] Ijah Faijah, Mengurus
Jenazah, Bandung, Madani Prima, 2008, 28.
[13]Ibid., 29.
[14]Sulaiman
Rasjid, Fiqih Islam (Hukum Fiqh Islam)…,171.
[15] Ibid.,
[16] Ijah Faijah, Mengurus
Jenazah…, 34.
[17] Ibid.,
[18] Proyek Pembinaan
Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi/ IAIN, Ilmu Fiqh (jilid 1),
Jakarta, Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, 1983, 216.
[19] M.
Nashiruddin Al-Albani, Ringkasan Shahih Muslim, Jakarta, Gema Insani, 2005,
231.
[20]Alawi
Abbas Al-Maliki & Hasan Sulaimanb An-Nuri, Penjelasan Hukum- hukum
Syari’at Islam (Ibaanatul ahkam), Bandung, Sinar Baru Algesindo, 1994, 904.
[21] Syaikh
al- ‘Allamah Muhammad bin Abdurrahman Ad dimasyqi, Rahmah al- Ummah fi Ikhtilafil al- ‘Aimmah…,
119.
[23] M. Nashiruddin
Al-Albani, Ringkasan Shahih Bukhori, Jakarta, Gema Insani, 2003,
429-430.
[24] Sulaiman
Rasjid, Fiqih Islam (Hukum Fiqh Islam)…,172.
[28] Ibid.,
220.
[29] Ibid.,
222.
[30] Ibid.,
[31] Sulaiman Rasjid , Fiqih Islam
(hukum fiqih Islam ), Bandung , Sinar Baru Algesindo, 2008, 182.
[32] Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin
Abdurrahman ad dimasyqi, Rahmah al-Umamah fi Ikhtilaf al-‘Aimmah,
Bandung , Hasyimmi, 2004, 122.
[33]
Nur Hasjim, Fiqih
2, STAI DIPONEGORO TULUNGAGUNG, 212.
[34] Sulaiman Rasjid , Fiqih Islam
(hukum fiqih Islam )…,183.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar