Jumat, 24 Mei 2013

Arab Pra Islam



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Sebelum Islam masuk di tengah- tengah masyarakat Arab, bangsa Arab hidup dalam kejahiliyahan. Mereka larut dalam kegelapan kejahatan dan tahayul serta bodoh dalam etika. Di samping itu mereka telah mengenal kehidupan sosial, ekonomi, bahasa dan seni, meskipun masih sederhana.
Bangsa Arab memiliki karakter yang keras, karena mereka hidup di tanah yang sebagian besar wilayahnya merupakan padang pasir. Arab terletak di antara benua Asia dan Afrika. Sebelah barat Arab dibatasi oleh laut Merah dan sebelah timur dibatasai oleh teluk Persia. Arab merupakan daerah yang gersang, nyaris tidak berair dan tidak ada tempat istirahat dari panas yang menyengat kecuali sedikit tempat hijau yang penuh dengan pohon kurma dan air yang dijadikan sebagai tempat istirahat bagi suku- suku pengembara Arab.[1]
Peradaban bangsa Arab sebelum Islam dalam bidang soaial sangat buruk. Kerusakan moral bangsa Arab terjadi di berbagai persoalan, misalnya meminum arak, perzinahan, mengubur anak perempuan hidup- hidup, laki- laki memiliki kebiasaan mengawini dan menceraikan perempuan sesukanya, dan menjadikan perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya sebagai barang warisan. Sedangkan dalam bidang ekonomi bangsa Arab memperbolehkan adanya riba. Metode umum yang digunakan dalam peminjaman dan pembayarannya kembali merupakan suatu pemerasan.[2]
1
Pada masa sebelum nabi Muhammad saw. bangsa Arab sudah memahami keesaan Allah. Akan tetapi setelah berpuluh- puluh abad, ajaran tersebut mengalami perubahan, yang kemudian muncul berbagai ajaran dan akhirnya jatuh menjadi agama berhala.
Melalui makalah ini Kami akan membahas lebih lanjut mengenai ciri fisik Arab, peradaban bangsa Arab dan kepercayaan bangsa pra Islam. Arab pra Islam sangat penting untuk dibahas, karena memberi pengetahuan kepada kita bagaimana kondisi Arab dan masyarakatnya sebelum Islam masuk ke daerah tersebut.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana ciri- ciri fisik Arab?
2.      Bagaimana peradaban bangsa Arab pra Islam?
3.      Bagaimana kepercayaan bangsa Arab pra Islam?
4.      Bagaimana kondisi keagamaan bangsa Arab?

C.     Tujuan Pembahasan Masalah
1.      Untuk mengetahui ciri- ciri fisik Arab.
2.      Untuk mengetahui peradaban bangsa Arab pra Islam.
3.      Untuk mengetahui kepercayaan bangsa Arab pra Islam.
4.      Untuk mengetahui kondisi keagamaan bangsa Arab.
D.    Batasan Masalah
Dalam makalah ini, Kami membatasi pembahasan hanya mengenai ciri-ciri fisik Arab, peradaban bangsa Arab pra Islam dan kepercayaan bangsa Arab pra Islam. Dengan demikian Kami berharap pembahasan kami terfokus pada tema tersebut.








BAB II
PEMBAHASAN
A. CIRI-CIRI FISIK ARAB
            Antara Laut Merah dan Teluk Persia terdapat suatu pulau suram, gersang dan nyaris tak berair, kecuali jika kadang-kadang ada banjir yang memberi kesegaran dan pesona sebuah oase bagi pemandangan semacam itu. Sebagian besar wilayah itu merupakan tempat yang menarik, juga tidak bersahabat, dari sudut pandang fisik. Sepanjang beberapa mil di sekitarnya tampak perbukitan gundul yang tak berujung, gemerlap panas padang pasir tanpa yang penuh dengan pohon kurma dan air, dan ia menjadi tempat istirahat bagi suku-suku pengembara Arab. Aliran sungai sangat sedikit dan jarang mencapai hingga laut. Aliran-aliran sungai itu hidup hanya ketika disiram oleh hujan yang jarang dan lenyap dalam dataran pasir.[3]        
Catatan lama sejarah Arab secara mengesankan mengemukakan fakta bahwa hanya daerah-daerah pinggiran yang jauh dari semenanjung itu yang bisa melakukan kontak dengan dunia yang berperadaban. “Wilayah Arabia lainnya betul-betul tidak dikenal , dan hanya melalui perantaraan orang-orang kota yang aktif dalam perdagangan, ataupun yang menetap di prbatasan Syiria, bangsa Arab sendiri tidak banyak mengetahui sesuatu di luar padang pasir mereka sendiri.[4]
3
   Di sekeliling negeri tersebut, kota Makkah menduduki posisi yang terkemuka. Akan tetapi, ini hanyalah sebuah kota kecil yang membentang dalam suatu dataran di tengah-tengah bebatuan yang kering dan berpegunungan, berjarak sekitar lima puluh mil dari tepi laut merah, yang dari situ tanah menaik secara bertahap hingga wilayah utama Arabia tengah. Sebagai pusat perdagangan dan sebagai tempat yang bernialai sakral, ka’bah menarik banyak orang dari seluruh penjuru Arabia setiap tahun. Kontrol atas ka’bah telah menjadi target utama ambisi suku-suku Arab mengingat pengaruhnya yang besar yang dijalankan oleh penguasanya atas seluruh Arabia. Karena itu, selalu ada perebutan untuk memperoleh kedudukan penting dalam menjaga “Rumah Allah”.[5]
Jazirah Arab itu terbagi atas dua bagian:[6]
1.      Bagian tengah.
2.      Bagian tepi.
Bagian tengah terdiri dari tanah pergunungan yang amat jarang dituruni hujan. Penduduknya pun sedikit sekali, yaitu terdiri dari kaum pengembara yang selalu berpindah-pindah tempat, menuruti tuunnya hujan, dan mencari padang-padang yang ditumbuhi rumput tempat menggembalakan binatang ternak. Penduduk bagian tangah Jazirah Arab disebut kaum badui, yaitu penduduk gurun (padang pasir). Binatang ternak yang amat penting bagi mereka adalah unta, yang oleh mereka diberi nama “Safinatus Shahra” (Bahtera padang pasir), dan biri-biri. Biri-biri ini adalah salah satu dari bahan hidup yang terpenting bagi mereka. Air susu biri-biri itu diminum, dagingnya untuk dimakan, kulitnya untuk pakaia, dari bulunya mereka buat pakaian dan kemah.
Bagian tengah dari Jazirah Arab terbagi atas dua bagian:[7]
1.      Bagian utara, disebut “Najed.”
2.      Bagian selatan, disebut “Al-Ahqaf.”
Bagian selatan penduduknya amat sedikit, oleh karenanya bagian itu dikenal dengan nama “Ar Rab’ul khali” (tempat yang sunyi).
Adapun Jazirah Arab bagian tepi adalah merupakan sebuah pita kecil yang melingkari Jazirah Arab itu. Hanya dipertemuan Laut Merah dengan Laut Hindia pita itu agak lebar. Pada Jazirah Arab bagian tepi itu,boleh dikatakan hujan turun dengan teratur.oleh karena itu penduduknya tidak mengembara, melainkan menetap ditempatnya. Mereka mendirikan kota-kota dan kerajaan-kerajaan, dan sempat pula membina berbagai macam kebudayaan. Oleh karena itu mereka disebut “Ahlul Hadhar” (Penduduk negeri).
Gambaran mengenai penduduk gurun ialah keistimewaan penduduk gurun terutama karena mereka mempunyai nasab murni. Hal ini disebabkan Jazirah Arab tidak pernah dimasuki oleh orang asing. Bahasa mereka terpelihara, karena kerusakan bahasa terutama disebabkan oleh percampuran dengan bangsa-bangsa asing. Akan tetapi gurun Arab tiada pernah tiada pernah ditempuh oleh bangsa asing, jadi penduduknya tidak pernah bercampur dengan bangsa asing. Oleh karena itu bahasa mereka tetap murni dan terpelihara. Karena bahasa mereka masih murni dan terpelihara dari segala macam kerusakan, maka p[adang pasir itu dijadikan sekolah tempat mempelajari dan menerima bahasa Arab yang fasih. Kehidupan di padang pasir memerlukan perasaan kesukuan, karena sukuisme itulah yang akan melindungi keluarga dan warga suatu suku. Hal ini disebabkan terutama karena di padang pasir tidak ada pemerintahan atau suatu badan resmi, yang dapat melindungi rakyat atau warga negaranya dari penganiayaan dan tindakan sewenang-sewenang dari siapa saja. Maka kabilah atau suku itulah yang berkewajiban melindungi orang-orang yang menggabungkan diri atau meminta perlindungan kepadanya.[8]
Bila salah seorang dari warganya, atau dari pengikut-pengikutnya dianiaya orang atau dilanggar haknya, maka menjadi kewajiban atas kabilah atau bsuku itu menuntut bela. Oleh karena itu, maka acap kali terjadi peperangan antara suatu suku dengan sukunyang lain. Peperangan ini kadang-kadang berketerusan smapai beberapa turunan. Untuk memuliakan dan menghormati ka’bah yang didatangi oleh bangsa Arab dari segenap penjuru guna mengerjakan haji dan umrah, maka dilaranglah berperang atau melancarkan penyerangan- penyerangan pada beberapa bulan dalam setahun, yaitu pada bulan Zulqaidah, Muharram (pada bulan-bulan tersebut mereka mengerjakan haji) dan Rajab (di bulan ini mereka mengerjakan umrah).
            Adapun ciri-ciri wilayah Jazirah Arab adalah:
A.    Letak Jazirah Arab
Menurut pendapat para ulama ahli ilmu bumi, bumi ini terdiri atas tiga benua: Asia, Afrika, dan Eropa. Kemudian akhir-akhir ini ditambah dua benua lagi, yaitu Amerika yang ditemukan pada abad ke-15 M dan Australia yang ditemukan pada abad ke-17 M. Jadi, dimuka bumi ini ada lima benua.
Jazirah Arab merupakan sebagian dari bumi atau suatu daerah berupa pulau yang beruapa di antara benua Asia dan Afrika, seolah-olah daerah Arab itu sebagai hati bumi (dunia). Pada zaman purba, persangkaan orang pun demikian, walaupun letaknya di barat daya daerah Asia. Sejak dahulu, daerah Arab memang terkenal dengan nama itu karena daerah Arab itu sebagian besar dikelilingi oleh sungai-sungai dan lautan sehingga terlihat seperti jazirah (pulau). Sebelah barat debelah selatan daerah Arab dibatasi oleh Laut Merah, sebelah timur dibatasi oleh Teluk Persia dan Laut Oman atau sungai-sungai Dajlah (Tigris) dan Furrat (Euphraat). Sebelah selatan dibatasi oleh Lautan Hindia dan sebelah utara oleh Sahara Tiih (lautan pasir yang ada diantara negeri Syam dan Sungai Furrat). Itulah sebabnya daerah Arab itu dikenal sebagai pulau dan dinamakan Jaziratul-Arabiyah.[9]

B.     Luas Jazirah Arab dan Jumlah Penduduknya
Jazirah Arab itu luasnya kurang lebih 1.100.000 mil persegi atau 126.000 farsakh persegi atau 3.156.558 kilometer persegi tanah yang sekian luasnya itu sepertiganya tertutupi lautan pasir, yang diantaranya yang paling besar adalah yang terkenal dengan nama ar-rabi’l khaly. Bukan dengan pasir saja, tetapi dipenuhi pula oleh batu-batu yang besar atau gunung-gunung batu yang tinggi, diantara yang paling besar dan paling tinggi adalah yang terkenal dengan nama Jabal as-Sarat. Di dalam pulau pasir ini tidak ada sungai yang mengalir karena lembah-lembahnya sebentar berair dan sebentar kering, airnya sebagian mengalir masuk kedalam padang-padang pasir saja dan sebagian masuk ke dalam lautan. Daerah seluas itu, pada masa itu, didiami oleh 12 juta jiwa, tetapi ada yang mengatakan 10 juta jiwa.[10]
B. PERADABAN BANGSA ARAB PRA ISLAM
            Sebelum peradaban Islam masuk di tengah- tengah masyarakat Arab, bangsa Arab sebenarnya telah mengenal kehidupan politik, ekonomi, sosial, bahasa, dan seni, meskipun sangat sederhana.
1.      Kehidupan Ekonomi
            Kehidupan ekonomi masyarakat Arab sangat ditentukan dengan kondisi dan letak geografis negara- negara Arab itu sendiri. Bagi masyarakat pedalaman, kehidupan ekonomi mereka biasanya dilakukan melalui sektor pertanian dan peternakan. Sedangkan bagi masyarakat Arab perkotaan, kehidupan ekonomi mereka sangat ditentukan oleh perdagangan. Oleh karena itu, bangsa Arab Quraisy sangat terkenal dalam dunia perdagangan.
            Mayoritas penduduk Arab mata pencahariannya adalah peternakan, terutama peternakan unta. Sedangkan pertanian dilakukan di oase dan dataran tinggi tertentu di pegunungan. Hasil pertanian di oase yaitu kurma, sementara di pegunungan yaitu gandum. [11]Kota Yatsrib (Madinah) merupakan oase yang luas dan subur. Sedangkan kota Mekah tidak cocok bagi pertanian. Oleh karena itu Mekah dijadikan sebagai pusat perdagangan. Di mekah terdapat pusat perdagangan, yaitu pasar Ukaz.
            Ekonomi sebelum Islam dipenuhi dengan riba. Metode umum yang digunakan dalam peminjaman dan pembayarannya kembali merupakan suatu pemerasan. Sang rentenir meminjamkan uangnya kepada orang dengan bunga yang tinggi, dan ketika uang yang dipinjam tidak dibayar pada waktu yang ditentukan, maka uang tersebut dilipatgandakan dan kemudian dilipatkan tiga kali pada akhir than ketiga. Jika peminjam gagal membayar pinjaman dan bunganya, pemberi pinjaman kadang- kadang mengambil hak peminjam atas istri dan anaknya.[12]
2.      . Kondisi Politik
Kondisi politik bangsa Arab sebelum Islam yaitu seperti tuan dan budaknya. Para tuan berhak atas semua harta rampasan dan kekayaan dan budak diwajibkan membayar denda dan pajak. Kekuasaan yang berlaku saat itu adalah sistem diktator. Sementara kabilah- kabilah yang berdekatan dengan wilayah pemerintahan tidak merasa tentram, karena mereka juga dimanfaatkan oleh pemimpin untuk memenuhi kepentingannya.[13]
Sedangkan kondisi bangsa Arab sebelum islam, hidup bersuku-suku (kabilah-kabilah) dan berdiri sendiri-sendiri. Satu sama lain kadang-kadang saling bermusuhan. Mereka tidak mengenal rasa ikatan nasional. Yang ada pada mereka hanyalah ikatan kabilah. Dasar hubungan dalam kabilah itu ialah pertalian darah. Rasa asyabiyah (kesukuan) amat kuat dan mendalam pada mereka, sehingga bila mana terjadi salah seorang di antara mereka teraniaya maka seluruh anggota-anggota kabilah itu akan bangkit membelanya. Semboyan mereka “ Tolong saudaramu, baik dia menganiaya atau dianiaya “.[14]
Pada hakikatnya kabilah-kabilah ini mempunyai pemuka-pemuka yang memimpin kabilahnya masing-masing. Kabilah adalah sebuah pemerintahan kecil yang asas eksistensi politiknya adalah kesatuan fanatisme, adanya manfaat secara timbal balik untuk menjaga daerah dan menghadang musuh dari luar kabilah.[15]
Kedudukan pemimpin kabilah di tengah kaumnya seperti kedudukan seorang raja. Anggota kabilah mengikuti apa pun pendapat pemimpinnya ketika damai atau perang. Dia mempunyai kewenangan hukum dan otoritas pendapat, seperti seorang pemimpin yang diktator.[16]
3.      Kehidupan Sosial
Dalam bidang bahasa dan seni bahasa, orang- orang Arab pada masa pra Islam sangat maju. Bahasa mereka sangat indah dan syair- syair mereka sangat banyak. Dalam lingkungan mereka seorang penyair sangat dihormati. Untuk mempertahankan persaingan di kalangan penyair, suku- suku di Arab tiap tahun mengadakan suatu pertemuan umum di Ukaz. Para penyair membacakan karya puisi mereka yang berlomba satu sama lain untuk memperoleh penghargaan.[17]
Moral bangsa Arab pada masa sebelum Islam sangat merosot, sehingga mencemarkan kehidupan bangsa dan negara. Di antaranya, pertama meminum arak bersama wanita dalam pertemuan judi.[18] Kedua, perzinahan. Ketiga, mengubur anak perempuan hidup- hidup. Keempat, laki- laki memiliki kebiasaan mengawini dan menceraikan perempuan sesukanya. Dan Kelima, menjadikan perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya sebagai barang warisan.
Kerusakan moral bangsa Arab pra Islam sebagai berikut:
a.       Meminum arak adalah salah satu dari kebiasaan bangsa Arab. Di antara salah satu cara mereka meminum arak yaitu dengan minum bersama dalam suatu pertemuan, mereka sambil berjudi dan dihibur oleh perempuan- perempuan penyanyi. [19] Kegemaran meminum arak bersama perempuan menjadikan kesopanan bangsa Arab hilang, karena tidak adanya disiplin sosial.
b.      Perzinahan antara laki- laki dan perempuan oleh bangsa Arab merupakan perbuatan biasa. Para suami acuh tak acuh terhadap kesetiaan istrinya, sehingga suami dapat membiarkannya tinggal dengan laki- laki lain agar mendapatkan benih yang bagus. Bangsa Arab juga memiliki kebiasaan poliandri, yaitu kebiasaan menikah di mana seorang perempuan menerima lebih dari seorang laki- laki sebagai suaminya. [20] Apabila perempuan itu hamil dan melahirkan bayinya, maka setelah beberapa hari dia mengundang semua laki- laki yang berkumpul dengannya dan kemudian dia menunjuk siapa pun yang dia sukai sambil menyebutkan namanya, lalu laki- laki itu bisa mengambil bayi tersebut.[21]
Dalam kondisi seperti itu, perempuan dipandang sebagai kekayaan keseluruhan suku dan dia tidak memiliki hak untuk melepaskan diri dari kelompok. Anak- anak mereka adalah anggota penuh suku, karena ibunya adalah angota suku. Tidak ada perbedaan antara keturunan yang sah dan haram.[22]
c.       Mengubur anak perempuan secara hidup- hidup dilakukan karena mereka takut mendapat malu dan miskin. Selain itu, disebabkan karena muncul dalam diri mereka rasa hormat yang benar- benar palsu yang memaksa mereka melakukan pembunuhan massal terhadap anak perempuannya. Di mana gagasan yang mendasarinya adalah bahwa golongan perempuan, terutama anak perempuan merupakan sumber aib.[23]
d.      Menurut bangsa Arab pernikahan adalah sejenis perbudakan dan hak- hak perkawinan suami seperti penguasaan, dan dia bebas memperlakukan apa yang telah dimilikinya.[24] Tidak ada batasan tentang jumlah istri yang dapat dapat dinikahi oleh seorang laki- laki. Mereka dapat menikahi perempuan sebanyak yang disukainya dan membatalkannya sesuai dengan kehendaknya. Tidak ada batasan yang ditetapkan terhadap nafsu laki- laki.[25] Perempuan yang hamil diusir dari rumah suaminya tanpa hak apa pun dan dijadikan istri oleh orang lain berdasakan kesepakatan dengan suami sebelumnya.[26]
e.       Perkawinan telah memberikan hak kepada suami atas kepemilikan yang mutlak. Bahkan hak ini dapat diwarisi oleh ahli warisnya. Biasanya anak laki- laki tertua yang mempunyai hak paling kuat untuk memilikinya. Akan tetapi jika tidak ada anak laki- laki, maka janda tersebut dialihkan kepada saudara orang yang meninggal tersebut.[27] Perempuan tidak memiliki bagian dalam warisan suami, orang tua dan keluarga lainnya. Karena mereka sendiri sama sekali tidak bebas, tetapi sebagai bagian dari kepemilikan suami, yang pembebasan dan keputusannya ada di tangan sang pewaris.[28]

C.    KEAGAMAAN BANGSA ARAB
Bangsa arab di sekitar Jazirah Arab pada masa dahulu sebelum Nabi Muhammad diutus, sudah memahami keesaan Allah, sudah mengenal Tuhan Allah. Dan lebih tegas, mereka itu sudah mengikuti agama yang menuhankan Allah. Karena mereka pada umumnya sejak beberapa ratus tahun yang lampau, sebelum Nabi Muhammad diutus, sudah kerap kali kedatangan dakwah dari para nabi utusan Allah, yang menyampaikan seruan kepada mereka supaya menyembah (beribadah) kepada Tuhan Yang Maha Esa semata-mata, jangan sampai mempersekutukan sesuatu dengan-Nya.[29]
Nabi-nabi utusan Allah yang datang dan berdakwah kepada bangsa Arab di Jazirah Arab di antaranya adalah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Keagamaan bangsa Arab pada masa itu, mereka percaya dan yakin bahwa Tuhan itu ada dan Tuhan itu Maha Esa. Dia yang menciptakan segenap makhluk, yang mengurus, yang mengatur, dan yang memberi segala sesuatu yang dihajatkan oleh segenap makhluk. Akan tetapi, dalam menyembah (beribadah) kepada-Nya, mereka membuat atau mengadakan berbagai perantara, dengan tujuan untuk mendekatkan diri mereka kepada Tuhan.[30]

1.        Menyembah Malaikat
Sebagian di antara mereka ada yang menyembah dan menuhankan malaikat. Mereka menganggap bahwa para malaikat itu sebagai wakil Tuhan untuk memberikan segala sesuatu yang diminta atau dihajatkan oleh manusia dan untuk mencabut kembali pemberian itu. Oleh sebab itu, mereka selain menyembah Tuhan, juga menyembah malaikat. Bahkan ada juga di antara mereka menuhankan malaikat dan menganggap bahwa malaikat itu anak-anak perempuan (putri-putri) Allah.[31]
2.        Menyembah Jin, Ruh, dan Hantu
Di antara mereka ada yang memandang bahwa jin-jin dan ruh para leluhur yang telah meninggal dunia itu mempunyai hubungan langsung atau hubungan keturunan dengan para malaikat, sehingga dengan sendirinya mereka mempunyai hubungan keturunan juga kepada Tuhan. Karena itulah, mereka lalu menuhankan dan menyembah jin-jin, ruh-ruh , dan hantu-hantu. Bangsa arab juga menghormati kuburan nenek moyang mereka dan mencari pertolongan dari jiwa orang yang sudah mati (ruh) di saat-saat kesedihan. Mereka percaya bahwa jiwa orang yang sudah mati memiliki kekuatan untuk berinkarnasi dalam tubuh yang berbeda, baik pada manusia maupun non-manusia.[32]
3.        Menyembah Benda-benda Langit
Sebagian di antara bangsa Arab di daerah Arab yang menyembah bintang-bintang. Yang dimaksud dengan bintang-bintang adalah matahari, bulan, dan bintang-bintang yang gemerlapan cahayanya, yang bertaburan dan beribi-ribu banyaknya itu. Mereka menyembah bintang-bintang karena memandang dan menganggap bahwa bintang-bintang itu diberi kekuasaan penuh oleh Tuhan untuk mengatur alam yang luas ini. Sebab itu, bintang-bintang dihormati, dimuliakan dan disembah karena bintang-bintang itu pun menyembah Tuhan. Demikianlah kepercayaan mereka sehingga mereka menyembah bintang-bintang.
Benda-benda langit yang disembah terutama adalah Canopus (Suhayl), Sirius (al-Syira), bintang besar dalam galaksi Taurus bersama planet Merkurius (Utarid), Venus (al-Zuhrah), Yupiter (al-Musyiri).[33]
4.        Menyembah Berhala
Sebagian dari bangsa Arab di daerah Arab ketika itu ada yang menyembah berhala-berhala, arca-arca yang dibuat dari logam-logam atau dibuat dari kayu dan batu. Mereka memiliki gagasan tentang kekuatan Tertinggi yang mengatur alam semesta, kemurkaan dan ridha-Nya, hidup sesudah mati dan malaikat. Namun, semua gagasan ini dicampur dengan penyembahan berhala, hawa nafsu dalam diri manusia sebagai objek nyata ketaatan, sesuatu yang dapat dilihat mata dan disentuh tangan, yang akhirnya berkembang menjadi penyembahan terhadap makhluk melebihi penyembahan terhadap pencipta.[34]
Penyebab di antara mereka menyembah berhala atau arca karena sebagian besar dari mereka terlalu memuliakan Masjidil-Haram dan Ka’bah. Setiap kali mereka ziarah ke daerah suci Mekkah untuk mengerjakan ibadah haji menurut pimpinan (syariat) Nabi Ibrahim, mereka kembali dengan membawa batu-batu yang ada di sana ke negri mereka masing-masing. Kemudian batu-batu yang dibawanya ditaruh di tempat yang istimewa ketika mereka berhenti, kemudian mereka mengelilingi batu-batu itu sebagaimana mereka thawaf mengelilingi Ka’bah. Mereka mengerjakan demikian itu dengan tujuan hendak mengambil berkah, akibat sangat cinta dan menghormati Ka’bah. Bangsa Arab berbuat seperti itu terhadap barhala-berhalanya, dengan disertai keyakinan bahwa hal itu bisa mendekatkan mereka kepada Allah dan menghubungkan mereka kepada-Nya serta memberikan manfaat di sisi-Nya.[35]
5.        Agama Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani)
Para ulama ahli tarikh menceritakan bahwa pada masa kedatangan Islam agama kaum Yahudi dan agama kaum Nasrani berkembang dan tersiar di seluruh Jazirah Arab. Agama Yahudi berkembang di Arab karena pada masa itu kaum Yahudi yang ada di negri Asyur diusir oleh Kerajaan Romawi. Sekalipun dalam keadaan pengusiran, mereka tetap rajin dan giat menyiarkan agamanya. Banyak pula di antara mereka yang lari ke daerah Yaman dan Hijaz, yang berada di Hijaz sebagian besar berdiam di kota Yatsrib (Madinah). Sementara itu, agama Nasrani berkembang di Jazirah Arab karena pada masa itu agama Nasrani mendapat bantuan yang besar dari Kerajaan Romawi dan Kerajaan Habsy. Oleh sebab itu, walaupun sedikit, berkembang juga agama Nasrani di Jazirah Arab.
Adapun berhala mereka yang paling besar (dimuliakan) adalah Hubal, di bawahnya Manat, Latta, kemudoan Uzza. Sedangkan yang lainnya, seperti Asaf, Naailah, Wudd, Jaghuts, Suwa’, Ja’auq, Nasr, dan Manaf.[36]

D.    KONDISI KEHIDUPAN AGAMA
Agama-agama yang terdapat di Jazirah Arab sudah banyak disusupi penyimpangan dan hal-hal yang merusak. Orang-orang Musyrik yang mengaku berada pada agama Ibrahim, justru keadaannya jauh sama sekali dari perintah dan larangan syariat Islam. Mereka mengabaikan tuntunan-tuntunan tentang akhlak yang mulia. Seiring dengan perjalanan waktu, mereka berubah menjadi para paganis (penyembah berhala), dengan tradisi dan kebiasaan yang menggambarkan berbagai macam khurafat dalam kehidupan agama.[37]
Sedangkan orang-orang Yahudi berubah menjadi orang-orang yang angkuh dan sombong. Pemimpin-pemimpin mereka menjadi sesembahan selain Allah. Para pemimpin inilah yang membuat hukum di tengah manusia dan menghisap mereka menurut kehendak yang terbetik di dalam hatinya. Ambisi mereka hanya tertuju kepada kekayaan dan kedudukan, sekalipun berakibat musnahnya agama dan menyebarnya kekufuran serta pengabdian terhadap ajaran-ajaran yang telah ditetapkan Allah dan yang semua orang dianjurkan untuk mensucikannya.[38]
Sedangkan agama Nasrani berubah menjadi paganisme yang sulit dipahami dan menimbulkan percampuradukan antara Allah dan manusia. Kalaupun  ada bangsa Arab yang memeluk agama ini, maka tidak ada pengaruh yang berarti, karena ajaran-ajarannya jauh dari model kehidupan yang mereka jalani, dan tidak mungkin mereka tinggalkan.
Sedangkan semua agama bangsa Arab, keadaan para pemeluknya sama dengan keadaan orang-orang Musyrik. Hati, kepercayaan, tradisi, dan kebiasaan mereka hampir serupa.[39]




















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, penulis menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
Pertama, Arab merupakan daerah yang sebagian besar wilayahnya merupakan gurun pasir, yang mana daerah seperti ini sangat berpengaruh terhadap kepribadian orang-orang Arab di masa itu.
Kedua, Sebelum Islam masuk di tengah- tengah masyarakat Arab, bangsa Arab hidup dalam kejahiliyahan. Mereka larut dalam kegelapan kejahatan dan tahayul serta bodoh dalam etika. Di samping itu mereka telah mengenal kehidupan sosial, ekonomi, bahasa dan seni, meskipun masih sederhana.
Ketiga, Keagamaan bangsa Arab, yaitu Menyembah Malaikat, Menyembah Jin, Ruh, dan Hantu, Menyembah Benda-benda Langit, Menyembah Berhala, Agama Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani).
Keempat, Semua agama bangsa Arab, keadaan para pemeluknya sama dengan keadaan orang-orang Musyrik. Hati, kepercayaan, tradisi, dan kebiasaan mereka hampir serupa.

B.     Saran
1.      Untuk para pendidik sebaiknya lebih bisa mengenali berbagai macam perubahan yang terjadi dalam lingkungan sosial yang dapat mempengaruhi kualitas peserta didik.
2.      Untuk para calon pendidik sebaiknya selalu mampu mengikuti perkembangan dan perubahan yang terjadi pada lingkungan sosial sehingga dapat mengenali berbagai macam hal yang dapat meningktkan kemampuan peserta didik seiring dengan berkembangnya  zaman.
3.     
16
Untuk peserta didik sebaiknya mampu meningkatkan pengetahuan yang mendukung perubahan positif  dalam proses pendidikan

DAFTAR RUJUKAN
Al-Mubarakfury, Syaikh Shafiyyur Rahman, Sirah Nabawi, 2008. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Chalil, Moenawar. Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad saw. jilid 1. 2001. Jakarta. Gema Insani.
Hamid Siddiqi, Abdul. Sirah Nabi Muhammad saw. 2008. Bandung. Penerbit Marja.
http://spistai.blogspot.com/2009/03/sejarah-arab-pra-islam.html diakses tanggal 23 Maret 2013 pukul: 09:17 WIB.
 Shafiyyurrahman Al- Mubarakfury, Syaikh. Sirah Nabawiyah, Terjemahan oleh Kathur Suhardi. 2008. Jakarta Timur. Pustaka Al- Kautsar.
Siddiq, Abdul Hamid, Sirah Nabawi Muhammad Saw, 2005. Bandung: Marja.
17
Syalabi, Sejarah Dan Kebudayaan Islam, 1997. Jakarta. PT Al husna Zikria.


[1] Abdul Hamid Siddiqi, Sirah Nabi Muhammad saw, Bandung, Penerbit Marja, 2001, 19.
[2] Ibid, 45.
[3] Abdul Hamid Siddiq, Sirah Nabi Muhammad SAW,  Bandung, Marja, 2001, 19.
[4] A Syalabi, Sejarah Dan Kebudayaan Islam, Jakarta, PT Al husna Zikria, 1997, 31.
[5] Ibid, 32.
[6] Ibid, 33.
[7] Syalabi, Sejarah Dan Kebudayaan Islam, Jakarta, PT Al husna Zikria, 1997, 33.
[8] Ibid, 34.
[9] Moenawar Cholil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW, Jakarta, GEMA INSANI, 2001, 13.
[10] Moenawar Cholil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW, Jakarta, GEMA INSANI, 2001, 14.
[11] Abdul Hamid Siddiqi, Sirah Nabi Muhammad saw, Bandung, Penerbit Marja, 2001, 44.
[12] Abdul Hamid Siddiqi, Sirah Nabi Muhammad saw, Bandung, Penerbit Marja, 2001, 45-46.
[13] Syaikh Shafiyyurrahman Al- Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, Terjemahan oleh Kathur Suhardi, Jakarta Timur, Pustaka Al- Kautsar, 2008, 19.
[14] http://spistai.blogspot.com/2009/03/sejarah-arab-pra-islam.html, diakses tanggal 23 Maret 2013 pukul: 09:17 WIB.
[15] Syaikh Shafiyyurrahman Al- Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, Terjemahan oleh Kathur Suhardi, Jakarta Timur, Pustaka Al- Kautsar, 2008, 18.
[16] Ibid,
[17] Ibid, 35-36.
[18] Ibid, 36.
[19] Moenawar Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad saw. jilid 1, Jakarta, Gema Insani, 2001, 27.
[20] Abdul Hamid Siddiqi, Sirah Nabi Muhammad saw, Bandung, Penerbit Marja, 2001, 38.
[21] Syaikh Shafiyyurrahman Al- Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, Terjemahan oleh Kathur Suhardi, Jakarta Timur, Pustaka Al- Kautsar, 2008, 32.
[22]Abdul Hamid Siddiqi, Sirah Nabi Muhammad saw, Bandung, Penerbit Marja, 2001,  39.
[23]Ibid, 39.
[24]Ibid, 42.
[25] Ibid, 43.
[26] Ibid, 44.
[27] Abdul Hamid Siddiqi, Sirah Nabi Muhammad saw, Bandung, Penerbit Marja, 2001, 43.
[28] W. Robertson Smith, op, cit, dalam Abdul Hamid Siddiqi.
[29] Moenawar Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad, (Jakarta: Gema Insani, 2004), 20.
[30] Ibid, 22.
[31] Ibid.
[32] Abdul Hamid Siddiq, Sirah Nabawi Muhammad Saw, (Bandung: Marja, 2005), 57.
[33] Ibid, 55.
[34] Ibid, 48.
[35] Syaikh Shafiyyur Rahman Al-Mubarakfury, Sirah Nabawi, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008), 24.
[36] Moenawar Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad, 24.
[37] Syaikh Shafiyyur Rahman Al-Mubarakfury, Sirah Nabawi, 28.
[38] Ibid.
[39] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar