|
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Sebelum Islam masuk di tengah-
tengah masyarakat Arab, bangsa Arab hidup dalam kejahiliyahan. Mereka larut
dalam kegelapan kejahatan dan tahayul serta bodoh dalam etika. Di samping itu
mereka telah mengenal kehidupan sosial, ekonomi, bahasa dan seni, meskipun
masih sederhana.
Bangsa Arab memiliki karakter yang
keras, karena mereka hidup di tanah yang sebagian besar wilayahnya merupakan
padang pasir. Arab terletak di antara benua Asia dan Afrika. Sebelah barat Arab
dibatasi oleh laut Merah dan sebelah timur dibatasai oleh teluk Persia. Arab
merupakan daerah yang gersang, nyaris tidak berair dan tidak ada tempat
istirahat dari panas yang menyengat kecuali sedikit tempat hijau yang penuh
dengan pohon kurma dan air yang dijadikan sebagai tempat istirahat bagi suku-
suku pengembara Arab.[1]
Peradaban bangsa Arab sebelum Islam
dalam bidang soaial sangat buruk. Kerusakan moral bangsa Arab terjadi di
berbagai persoalan, misalnya meminum arak, perzinahan, mengubur anak perempuan
hidup- hidup, laki- laki memiliki kebiasaan mengawini dan menceraikan perempuan
sesukanya, dan menjadikan perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya sebagai
barang warisan. Sedangkan dalam bidang ekonomi bangsa Arab memperbolehkan
adanya riba. Metode umum yang digunakan dalam peminjaman dan pembayarannya
kembali merupakan suatu pemerasan.[2]
1
|
Melalui makalah ini Kami akan
membahas lebih lanjut mengenai ciri fisik Arab, peradaban bangsa Arab dan
kepercayaan bangsa pra Islam. Arab pra Islam sangat penting untuk dibahas,
karena memberi pengetahuan kepada kita bagaimana kondisi Arab dan masyarakatnya
sebelum Islam masuk ke daerah tersebut.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
ciri- ciri fisik Arab?
2. Bagaimana
peradaban bangsa Arab pra Islam?
3. Bagaimana
kepercayaan bangsa Arab pra Islam?
4. Bagaimana kondisi keagamaan bangsa Arab?
C. Tujuan
Pembahasan Masalah
1. Untuk
mengetahui ciri- ciri fisik Arab.
2. Untuk
mengetahui peradaban bangsa Arab pra Islam.
3. Untuk
mengetahui kepercayaan bangsa Arab pra Islam.
4. Untuk mengetahui kondisi keagamaan bangsa Arab.
D. Batasan
Masalah
Dalam
makalah ini, Kami membatasi pembahasan hanya mengenai ciri-ciri fisik Arab,
peradaban bangsa Arab pra Islam dan kepercayaan bangsa Arab pra Islam. Dengan
demikian Kami berharap pembahasan kami terfokus pada tema tersebut.
|
PEMBAHASAN
A. CIRI-CIRI FISIK ARAB
Antara Laut Merah dan Teluk Persia
terdapat suatu pulau suram, gersang dan nyaris tak berair, kecuali jika
kadang-kadang ada banjir yang memberi kesegaran dan pesona sebuah oase bagi
pemandangan semacam itu. Sebagian besar wilayah itu merupakan tempat yang
menarik, juga tidak bersahabat, dari sudut pandang fisik. Sepanjang beberapa
mil di sekitarnya tampak perbukitan gundul yang tak berujung, gemerlap panas
padang pasir tanpa yang penuh dengan pohon kurma dan air, dan ia menjadi tempat
istirahat bagi suku-suku pengembara Arab. Aliran sungai sangat sedikit dan
jarang mencapai hingga laut. Aliran-aliran sungai itu hidup hanya ketika
disiram oleh hujan yang jarang dan lenyap dalam dataran pasir.[3]
Catatan lama sejarah Arab secara mengesankan
mengemukakan fakta bahwa hanya daerah-daerah pinggiran yang jauh dari
semenanjung itu yang bisa melakukan kontak dengan dunia yang berperadaban.
“Wilayah Arabia lainnya betul-betul tidak dikenal , dan hanya melalui
perantaraan orang-orang kota yang aktif dalam perdagangan, ataupun yang menetap
di prbatasan Syiria, bangsa Arab sendiri tidak banyak mengetahui sesuatu di
luar padang pasir mereka sendiri.[4]
3
|
Jazirah Arab itu terbagi atas dua bagian:[6]
1. Bagian
tengah.
2. Bagian
tepi.
Bagian tengah terdiri dari tanah pergunungan yang
amat jarang dituruni hujan. Penduduknya pun sedikit sekali, yaitu terdiri dari
kaum pengembara yang selalu berpindah-pindah tempat, menuruti tuunnya hujan,
dan mencari padang-padang yang ditumbuhi rumput tempat menggembalakan binatang
ternak. Penduduk bagian tangah Jazirah Arab disebut kaum badui, yaitu penduduk
gurun (padang pasir). Binatang ternak yang amat penting bagi mereka adalah
unta, yang oleh mereka diberi nama “Safinatus Shahra” (Bahtera padang pasir),
dan biri-biri. Biri-biri ini adalah salah satu dari bahan hidup yang terpenting
bagi mereka. Air susu biri-biri itu diminum, dagingnya untuk dimakan, kulitnya
untuk pakaia, dari bulunya mereka buat pakaian dan kemah.
Bagian tengah dari Jazirah Arab terbagi atas dua
bagian:[7]
1. Bagian
utara, disebut “Najed.”
2. Bagian
selatan, disebut “Al-Ahqaf.”
Bagian selatan penduduknya amat sedikit, oleh
karenanya bagian itu dikenal dengan nama “Ar Rab’ul khali” (tempat yang sunyi).
Adapun Jazirah Arab bagian tepi adalah merupakan sebuah
pita kecil yang melingkari Jazirah Arab itu. Hanya dipertemuan Laut Merah
dengan Laut Hindia pita itu agak lebar. Pada Jazirah Arab bagian tepi itu,boleh
dikatakan hujan turun dengan teratur.oleh karena itu penduduknya tidak
mengembara, melainkan menetap ditempatnya. Mereka mendirikan kota-kota dan
kerajaan-kerajaan, dan sempat pula membina berbagai macam kebudayaan. Oleh
karena itu mereka disebut “Ahlul Hadhar” (Penduduk negeri).
Gambaran mengenai penduduk gurun ialah keistimewaan
penduduk gurun terutama karena mereka mempunyai nasab murni. Hal ini disebabkan
Jazirah Arab tidak pernah dimasuki oleh orang asing. Bahasa mereka terpelihara,
karena kerusakan bahasa terutama disebabkan oleh percampuran dengan
bangsa-bangsa asing. Akan tetapi gurun Arab tiada pernah tiada pernah ditempuh
oleh bangsa asing, jadi penduduknya tidak pernah bercampur dengan bangsa asing.
Oleh karena itu bahasa mereka tetap murni dan terpelihara. Karena bahasa mereka
masih murni dan terpelihara dari segala macam kerusakan, maka p[adang pasir itu
dijadikan sekolah tempat mempelajari dan menerima bahasa Arab yang fasih.
Kehidupan di padang pasir memerlukan perasaan kesukuan, karena sukuisme itulah
yang akan melindungi keluarga dan warga suatu suku. Hal ini disebabkan terutama
karena di padang pasir tidak ada pemerintahan atau suatu badan resmi, yang
dapat melindungi rakyat atau warga negaranya dari penganiayaan dan tindakan
sewenang-sewenang dari siapa saja. Maka kabilah atau suku itulah yang
berkewajiban melindungi orang-orang yang menggabungkan diri atau meminta
perlindungan kepadanya.[8]
Bila salah seorang dari warganya, atau dari
pengikut-pengikutnya dianiaya orang atau dilanggar haknya, maka menjadi
kewajiban atas kabilah atau bsuku itu menuntut bela. Oleh karena itu, maka acap
kali terjadi peperangan antara suatu suku dengan sukunyang lain. Peperangan ini
kadang-kadang berketerusan smapai beberapa turunan. Untuk memuliakan dan
menghormati ka’bah yang didatangi oleh bangsa Arab dari segenap penjuru guna
mengerjakan haji dan umrah, maka dilaranglah berperang atau melancarkan
penyerangan- penyerangan pada beberapa bulan dalam setahun, yaitu pada bulan
Zulqaidah, Muharram (pada bulan-bulan tersebut mereka mengerjakan haji) dan
Rajab (di bulan ini mereka mengerjakan umrah).
Adapun ciri-ciri wilayah Jazirah
Arab adalah:
A. Letak
Jazirah Arab
Menurut pendapat para ulama ahli ilmu
bumi, bumi ini terdiri atas tiga benua: Asia, Afrika, dan Eropa. Kemudian
akhir-akhir ini ditambah dua benua lagi, yaitu Amerika yang ditemukan pada abad
ke-15 M dan Australia yang ditemukan pada abad ke-17 M. Jadi, dimuka bumi ini
ada lima benua.
Jazirah Arab merupakan sebagian dari
bumi atau suatu daerah berupa pulau yang beruapa di antara benua Asia dan
Afrika, seolah-olah daerah Arab itu sebagai hati bumi (dunia). Pada zaman
purba, persangkaan orang pun demikian, walaupun letaknya di barat daya daerah
Asia. Sejak dahulu, daerah Arab memang terkenal dengan nama itu karena daerah
Arab itu sebagian besar dikelilingi oleh sungai-sungai dan lautan sehingga
terlihat seperti jazirah (pulau). Sebelah barat debelah selatan daerah Arab
dibatasi oleh Laut Merah, sebelah timur dibatasi oleh Teluk Persia dan Laut
Oman atau sungai-sungai Dajlah (Tigris) dan Furrat (Euphraat). Sebelah selatan
dibatasi oleh Lautan Hindia dan sebelah utara oleh Sahara Tiih (lautan pasir
yang ada diantara negeri Syam dan Sungai Furrat). Itulah sebabnya daerah Arab
itu dikenal sebagai pulau dan dinamakan Jaziratul-Arabiyah.[9]
B. Luas
Jazirah Arab dan Jumlah Penduduknya
Jazirah Arab itu luasnya kurang
lebih 1.100.000 mil persegi atau 126.000 farsakh persegi atau 3.156.558
kilometer persegi tanah yang sekian luasnya itu sepertiganya tertutupi lautan
pasir, yang diantaranya yang paling besar adalah yang terkenal dengan nama
ar-rabi’l khaly. Bukan dengan pasir saja, tetapi dipenuhi pula oleh batu-batu
yang besar atau gunung-gunung batu yang tinggi, diantara yang paling besar dan
paling tinggi adalah yang terkenal dengan nama Jabal as-Sarat. Di dalam pulau pasir ini tidak ada sungai yang
mengalir karena lembah-lembahnya sebentar berair dan sebentar kering, airnya
sebagian mengalir masuk kedalam padang-padang pasir saja dan sebagian masuk ke
dalam lautan. Daerah seluas itu, pada masa itu, didiami oleh 12 juta jiwa,
tetapi ada yang mengatakan 10 juta jiwa.[10]
B.
PERADABAN BANGSA ARAB PRA ISLAM
Sebelum peradaban
Islam masuk di tengah- tengah masyarakat Arab, bangsa Arab sebenarnya telah
mengenal kehidupan politik, ekonomi, sosial, bahasa, dan seni, meskipun sangat
sederhana.
1.
Kehidupan
Ekonomi
Kehidupan ekonomi masyarakat
Arab sangat ditentukan dengan kondisi dan letak geografis negara- negara Arab
itu sendiri. Bagi masyarakat pedalaman, kehidupan ekonomi mereka biasanya
dilakukan melalui sektor pertanian dan peternakan. Sedangkan bagi masyarakat
Arab perkotaan, kehidupan ekonomi mereka sangat ditentukan oleh perdagangan.
Oleh karena itu, bangsa Arab Quraisy sangat terkenal dalam dunia perdagangan.
Mayoritas penduduk
Arab mata pencahariannya adalah peternakan, terutama peternakan unta. Sedangkan
pertanian dilakukan di oase dan dataran tinggi tertentu di pegunungan. Hasil
pertanian di oase yaitu kurma, sementara di pegunungan yaitu gandum. [11]Kota
Yatsrib (Madinah) merupakan oase yang luas dan subur. Sedangkan kota Mekah
tidak cocok bagi pertanian. Oleh karena itu Mekah dijadikan sebagai pusat
perdagangan. Di mekah terdapat pusat perdagangan, yaitu pasar Ukaz.
Ekonomi sebelum
Islam dipenuhi dengan riba. Metode umum yang digunakan dalam peminjaman dan
pembayarannya kembali merupakan suatu pemerasan. Sang rentenir meminjamkan
uangnya kepada orang dengan bunga yang tinggi, dan ketika uang yang dipinjam
tidak dibayar pada waktu yang ditentukan, maka uang tersebut dilipatgandakan
dan kemudian dilipatkan tiga kali pada akhir than ketiga. Jika peminjam gagal
membayar pinjaman dan bunganya, pemberi pinjaman kadang- kadang mengambil hak
peminjam atas istri dan anaknya.[12]
2. . Kondisi Politik
Kondisi politik bangsa Arab sebelum
Islam yaitu seperti tuan dan budaknya. Para tuan berhak atas semua harta
rampasan dan kekayaan dan budak diwajibkan membayar denda dan pajak. Kekuasaan
yang berlaku saat itu adalah sistem diktator. Sementara kabilah- kabilah yang
berdekatan dengan wilayah pemerintahan tidak merasa tentram, karena mereka juga
dimanfaatkan oleh pemimpin untuk memenuhi kepentingannya.[13]
Sedangkan kondisi bangsa Arab
sebelum islam, hidup bersuku-suku (kabilah-kabilah) dan berdiri
sendiri-sendiri. Satu sama lain kadang-kadang saling bermusuhan. Mereka tidak
mengenal rasa ikatan nasional. Yang ada pada mereka hanyalah ikatan kabilah.
Dasar hubungan dalam kabilah itu ialah pertalian darah. Rasa asyabiyah (kesukuan)
amat kuat dan mendalam pada mereka, sehingga bila mana terjadi salah seorang di
antara mereka teraniaya maka seluruh anggota-anggota kabilah itu akan bangkit
membelanya. Semboyan mereka “ Tolong saudaramu, baik dia menganiaya atau
dianiaya “.[14]
Pada hakikatnya kabilah-kabilah ini
mempunyai pemuka-pemuka yang memimpin kabilahnya masing-masing. Kabilah adalah
sebuah pemerintahan kecil yang asas eksistensi politiknya adalah kesatuan
fanatisme, adanya manfaat secara timbal balik untuk menjaga daerah dan
menghadang musuh dari luar kabilah.[15]
Kedudukan pemimpin kabilah di tengah
kaumnya seperti kedudukan seorang raja. Anggota kabilah mengikuti apa pun
pendapat pemimpinnya ketika damai atau perang. Dia mempunyai kewenangan hukum
dan otoritas pendapat, seperti seorang pemimpin yang diktator.[16]
3.
Kehidupan
Sosial
Dalam bidang bahasa dan seni bahasa,
orang- orang Arab pada masa pra Islam sangat maju. Bahasa mereka sangat indah
dan syair- syair mereka sangat banyak. Dalam lingkungan mereka seorang penyair
sangat dihormati. Untuk mempertahankan persaingan di kalangan penyair, suku-
suku di Arab tiap tahun mengadakan suatu pertemuan umum di Ukaz. Para penyair
membacakan karya puisi mereka yang berlomba satu sama lain untuk memperoleh
penghargaan.[17]
Moral bangsa Arab pada masa sebelum
Islam sangat merosot, sehingga mencemarkan kehidupan bangsa dan negara. Di
antaranya, pertama meminum arak bersama wanita dalam pertemuan judi.[18] Kedua,
perzinahan. Ketiga, mengubur anak perempuan hidup- hidup. Keempat,
laki- laki memiliki kebiasaan mengawini dan menceraikan perempuan sesukanya.
Dan Kelima, menjadikan perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya sebagai
barang warisan.
Kerusakan
moral bangsa Arab pra Islam sebagai berikut:
a.
Meminum
arak adalah salah satu dari kebiasaan bangsa Arab. Di antara salah satu cara
mereka meminum arak yaitu dengan minum bersama dalam suatu pertemuan, mereka
sambil berjudi dan dihibur oleh perempuan- perempuan penyanyi. [19] Kegemaran
meminum arak bersama perempuan menjadikan kesopanan bangsa Arab hilang, karena
tidak adanya disiplin sosial.
b.
Perzinahan
antara laki- laki dan perempuan oleh bangsa Arab merupakan perbuatan biasa.
Para suami acuh tak acuh terhadap kesetiaan istrinya, sehingga suami dapat
membiarkannya tinggal dengan laki- laki lain agar mendapatkan benih yang bagus.
Bangsa Arab juga memiliki kebiasaan poliandri, yaitu kebiasaan menikah di mana
seorang perempuan menerima lebih dari seorang laki- laki sebagai suaminya. [20]
Apabila perempuan itu hamil dan melahirkan bayinya, maka setelah beberapa hari
dia mengundang semua laki- laki yang berkumpul dengannya dan kemudian dia
menunjuk siapa pun yang dia sukai sambil menyebutkan namanya, lalu laki- laki
itu bisa mengambil bayi tersebut.[21]
Dalam kondisi seperti itu, perempuan dipandang sebagai kekayaan
keseluruhan suku dan dia tidak memiliki hak untuk melepaskan diri dari
kelompok. Anak- anak mereka adalah anggota penuh suku, karena ibunya adalah
angota suku. Tidak ada perbedaan antara keturunan yang sah dan haram.[22]
c.
Mengubur
anak perempuan secara hidup- hidup dilakukan karena mereka takut mendapat malu
dan miskin. Selain itu, disebabkan karena muncul dalam diri mereka rasa hormat
yang benar- benar palsu yang memaksa mereka melakukan pembunuhan massal terhadap
anak perempuannya. Di mana gagasan yang mendasarinya adalah bahwa golongan perempuan,
terutama anak perempuan merupakan sumber aib.[23]
d.
Menurut
bangsa Arab pernikahan adalah sejenis perbudakan dan hak- hak perkawinan suami
seperti penguasaan, dan dia bebas memperlakukan apa yang telah dimilikinya.[24]
Tidak ada batasan tentang jumlah istri yang dapat dapat dinikahi oleh seorang
laki- laki. Mereka dapat menikahi perempuan sebanyak yang disukainya dan
membatalkannya sesuai dengan kehendaknya. Tidak ada batasan yang ditetapkan
terhadap nafsu laki- laki.[25] Perempuan
yang hamil diusir dari rumah suaminya tanpa hak apa pun dan dijadikan istri
oleh orang lain berdasakan kesepakatan dengan suami sebelumnya.[26]
e.
Perkawinan
telah memberikan hak kepada suami atas kepemilikan yang mutlak. Bahkan hak ini
dapat diwarisi oleh ahli warisnya. Biasanya anak laki- laki tertua yang
mempunyai hak paling kuat untuk memilikinya. Akan tetapi jika tidak ada anak
laki- laki, maka janda tersebut dialihkan kepada saudara orang yang meninggal
tersebut.[27]
Perempuan tidak memiliki bagian dalam warisan suami, orang tua dan keluarga
lainnya. Karena mereka sendiri sama sekali tidak bebas, tetapi sebagai bagian
dari kepemilikan suami, yang pembebasan dan keputusannya ada di tangan sang
pewaris.[28]
C.
KEAGAMAAN BANGSA
ARAB
Bangsa
arab di sekitar Jazirah Arab pada masa dahulu sebelum Nabi Muhammad diutus,
sudah memahami keesaan Allah, sudah mengenal Tuhan Allah. Dan lebih tegas,
mereka itu sudah mengikuti agama yang menuhankan Allah. Karena mereka pada
umumnya sejak beberapa ratus tahun yang lampau, sebelum Nabi Muhammad diutus,
sudah kerap kali kedatangan dakwah dari para nabi utusan Allah, yang
menyampaikan seruan kepada mereka supaya menyembah (beribadah) kepada Tuhan
Yang Maha Esa semata-mata, jangan sampai mempersekutukan sesuatu dengan-Nya.[29]
Nabi-nabi
utusan Allah yang datang dan berdakwah kepada bangsa Arab di Jazirah Arab di
antaranya adalah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Keagamaan bangsa Arab pada masa
itu, mereka percaya dan yakin bahwa Tuhan itu ada dan Tuhan itu Maha Esa. Dia
yang menciptakan segenap makhluk, yang mengurus, yang mengatur, dan yang
memberi segala sesuatu yang dihajatkan oleh segenap makhluk. Akan tetapi, dalam
menyembah (beribadah) kepada-Nya, mereka membuat atau mengadakan berbagai
perantara, dengan tujuan untuk mendekatkan diri mereka kepada Tuhan.[30]
1.
Menyembah Malaikat
Sebagian di antara
mereka ada yang menyembah dan menuhankan malaikat. Mereka menganggap bahwa para
malaikat itu sebagai wakil Tuhan untuk memberikan segala sesuatu yang diminta
atau dihajatkan oleh manusia dan untuk mencabut kembali pemberian itu. Oleh
sebab itu, mereka selain menyembah Tuhan, juga menyembah malaikat. Bahkan ada
juga di antara mereka menuhankan malaikat dan menganggap bahwa malaikat itu
anak-anak perempuan (putri-putri) Allah.[31]
2.
Menyembah Jin, Ruh, dan Hantu
Di antara mereka ada
yang memandang bahwa jin-jin dan ruh para leluhur yang telah meninggal dunia
itu mempunyai hubungan langsung atau hubungan keturunan dengan para malaikat,
sehingga dengan sendirinya mereka mempunyai hubungan keturunan juga kepada
Tuhan. Karena itulah, mereka lalu menuhankan dan menyembah jin-jin, ruh-ruh ,
dan hantu-hantu. Bangsa arab juga menghormati kuburan nenek moyang mereka dan
mencari pertolongan dari jiwa orang yang sudah mati (ruh) di saat-saat
kesedihan. Mereka percaya bahwa jiwa orang yang sudah mati memiliki kekuatan
untuk berinkarnasi dalam tubuh yang berbeda, baik pada manusia maupun
non-manusia.[32]
3.
Menyembah Benda-benda Langit
Sebagian di antara
bangsa Arab di daerah Arab yang menyembah bintang-bintang. Yang dimaksud dengan
bintang-bintang adalah matahari, bulan, dan bintang-bintang yang gemerlapan
cahayanya, yang bertaburan dan beribi-ribu banyaknya itu. Mereka menyembah
bintang-bintang karena memandang dan menganggap bahwa bintang-bintang itu
diberi kekuasaan penuh oleh Tuhan untuk mengatur alam yang luas ini. Sebab itu,
bintang-bintang dihormati, dimuliakan dan disembah karena bintang-bintang itu
pun menyembah Tuhan. Demikianlah kepercayaan mereka sehingga mereka menyembah
bintang-bintang.
Benda-benda langit
yang disembah terutama adalah Canopus (Suhayl), Sirius (al-Syira), bintang
besar dalam galaksi Taurus bersama planet Merkurius (Utarid), Venus
(al-Zuhrah), Yupiter (al-Musyiri).[33]
4.
Menyembah Berhala
Sebagian dari bangsa
Arab di daerah Arab ketika itu ada yang menyembah berhala-berhala, arca-arca
yang dibuat dari logam-logam atau dibuat dari kayu dan batu. Mereka memiliki
gagasan tentang kekuatan Tertinggi yang mengatur alam semesta, kemurkaan dan
ridha-Nya, hidup sesudah mati dan malaikat. Namun, semua gagasan ini dicampur
dengan penyembahan berhala, hawa nafsu dalam diri manusia sebagai objek nyata
ketaatan, sesuatu yang dapat dilihat mata dan disentuh tangan, yang akhirnya
berkembang menjadi penyembahan terhadap makhluk melebihi penyembahan terhadap
pencipta.[34]
Penyebab di antara
mereka menyembah berhala atau arca karena sebagian besar dari mereka terlalu
memuliakan Masjidil-Haram dan Ka’bah. Setiap kali mereka ziarah ke daerah suci
Mekkah untuk mengerjakan ibadah haji menurut pimpinan (syariat) Nabi Ibrahim,
mereka kembali dengan membawa batu-batu yang ada di sana ke negri mereka
masing-masing. Kemudian batu-batu yang dibawanya ditaruh di tempat yang
istimewa ketika mereka berhenti, kemudian mereka mengelilingi batu-batu itu
sebagaimana mereka thawaf mengelilingi Ka’bah. Mereka mengerjakan demikian itu
dengan tujuan hendak mengambil berkah, akibat sangat cinta dan menghormati
Ka’bah. Bangsa Arab berbuat seperti itu terhadap barhala-berhalanya, dengan
disertai keyakinan bahwa hal itu bisa mendekatkan mereka kepada Allah dan
menghubungkan mereka kepada-Nya serta memberikan manfaat di sisi-Nya.[35]
5.
Agama Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani)
Para ulama ahli
tarikh menceritakan bahwa pada masa kedatangan Islam agama kaum Yahudi dan
agama kaum Nasrani berkembang dan tersiar di seluruh Jazirah Arab. Agama Yahudi
berkembang di Arab karena pada masa itu kaum Yahudi yang ada di negri Asyur
diusir oleh Kerajaan Romawi. Sekalipun dalam keadaan pengusiran, mereka tetap
rajin dan giat menyiarkan agamanya. Banyak pula di antara mereka yang lari ke
daerah Yaman dan Hijaz, yang berada di Hijaz sebagian besar berdiam di kota
Yatsrib (Madinah). Sementara itu, agama Nasrani berkembang di Jazirah Arab
karena pada masa itu agama Nasrani mendapat bantuan yang besar dari Kerajaan
Romawi dan Kerajaan Habsy. Oleh sebab itu, walaupun sedikit, berkembang juga
agama Nasrani di Jazirah Arab.
Adapun berhala
mereka yang paling besar (dimuliakan) adalah Hubal, di bawahnya Manat, Latta,
kemudoan Uzza. Sedangkan yang lainnya, seperti Asaf, Naailah, Wudd, Jaghuts,
Suwa’, Ja’auq, Nasr, dan Manaf.[36]
D.
KONDISI KEHIDUPAN
AGAMA
Agama-agama yang
terdapat di Jazirah Arab sudah banyak disusupi penyimpangan dan hal-hal yang
merusak. Orang-orang Musyrik yang mengaku berada pada agama Ibrahim, justru
keadaannya jauh sama sekali dari perintah dan larangan syariat Islam. Mereka
mengabaikan tuntunan-tuntunan tentang akhlak yang mulia. Seiring dengan
perjalanan waktu, mereka berubah menjadi para paganis (penyembah berhala),
dengan tradisi dan kebiasaan yang menggambarkan berbagai macam khurafat dalam
kehidupan agama.[37]
Sedangkan
orang-orang Yahudi berubah menjadi orang-orang yang angkuh dan sombong.
Pemimpin-pemimpin mereka menjadi sesembahan selain Allah. Para pemimpin inilah
yang membuat hukum di tengah manusia dan menghisap mereka menurut kehendak yang
terbetik di dalam hatinya. Ambisi mereka hanya tertuju kepada kekayaan dan
kedudukan, sekalipun berakibat musnahnya agama dan menyebarnya kekufuran serta
pengabdian terhadap ajaran-ajaran yang telah ditetapkan Allah dan yang semua
orang dianjurkan untuk mensucikannya.[38]
Sedangkan agama
Nasrani berubah menjadi paganisme yang sulit dipahami dan menimbulkan
percampuradukan antara Allah dan manusia. Kalaupun ada bangsa Arab yang memeluk agama ini, maka
tidak ada pengaruh yang berarti, karena ajaran-ajarannya jauh dari model
kehidupan yang mereka jalani, dan tidak mungkin mereka tinggalkan.
Sedangkan semua
agama bangsa Arab, keadaan para pemeluknya sama dengan keadaan orang-orang
Musyrik. Hati, kepercayaan, tradisi, dan kebiasaan mereka hampir serupa.[39]
|
|
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, penulis menarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
Pertama, Arab merupakan
daerah yang sebagian besar wilayahnya merupakan gurun pasir, yang mana daerah
seperti ini sangat berpengaruh terhadap kepribadian orang-orang Arab di masa
itu.
Kedua, Sebelum Islam masuk di tengah- tengah masyarakat Arab, bangsa Arab
hidup dalam kejahiliyahan. Mereka larut dalam kegelapan kejahatan dan tahayul
serta bodoh dalam etika. Di samping itu mereka telah mengenal kehidupan sosial,
ekonomi, bahasa dan seni, meskipun masih sederhana.
Ketiga, Keagamaan bangsa Arab, yaitu Menyembah Malaikat, Menyembah Jin, Ruh, dan
Hantu, Menyembah Benda-benda Langit, Menyembah Berhala, Agama Ahli Kitab
(Yahudi dan Nasrani).
Keempat, Semua agama bangsa Arab, keadaan para pemeluknya
sama dengan keadaan orang-orang Musyrik. Hati, kepercayaan, tradisi, dan
kebiasaan mereka hampir serupa.
B.
Saran
1. Untuk
para pendidik sebaiknya lebih bisa mengenali berbagai macam perubahan yang
terjadi dalam lingkungan sosial yang dapat mempengaruhi kualitas peserta didik.
2. Untuk
para calon pendidik sebaiknya selalu mampu mengikuti perkembangan dan perubahan
yang terjadi pada lingkungan sosial sehingga dapat mengenali berbagai macam hal
yang dapat meningktkan kemampuan peserta didik seiring dengan
berkembangnya zaman.
3.
Untuk peserta didik sebaiknya mampu meningkatkan
pengetahuan yang mendukung perubahan positif
dalam proses pendidikan
16
|
|
Al-Mubarakfury, Syaikh Shafiyyur Rahman, Sirah Nabawi, 2008. Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar.
Chalil, Moenawar. Kelengkapan Tarikh Nabi
Muhammad saw. jilid 1. 2001. Jakarta. Gema Insani.
Hamid Siddiqi, Abdul. Sirah Nabi Muhammad saw.
2008. Bandung. Penerbit Marja.
http://spistai.blogspot.com/2009/03/sejarah-arab-pra-islam.html diakses
tanggal 23 Maret 2013 pukul: 09:17 WIB.
Shafiyyurrahman
Al- Mubarakfury, Syaikh. Sirah Nabawiyah, Terjemahan oleh Kathur
Suhardi. 2008. Jakarta Timur. Pustaka Al- Kautsar.
Siddiq, Abdul Hamid, Sirah Nabawi
Muhammad Saw, 2005. Bandung: Marja.
17
|
[1] Abdul
Hamid Siddiqi, Sirah Nabi Muhammad saw, Bandung, Penerbit Marja, 2001,
19.
[3] Abdul Hamid Siddiq, Sirah Nabi Muhammad SAW, Bandung, Marja, 2001, 19.
[4] A Syalabi, Sejarah Dan Kebudayaan Islam, Jakarta,
PT Al husna Zikria, 1997, 31.
[5] Ibid, 32.
[6] Ibid, 33.
[7] Syalabi, Sejarah Dan Kebudayaan Islam, Jakarta,
PT Al husna Zikria, 1997, 33.
[8] Ibid, 34.
[9] Moenawar Cholil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW, Jakarta,
GEMA INSANI, 2001, 13.
[10] Moenawar Cholil, Kelengkapan
Tarikh Nabi Muhammad SAW, Jakarta, GEMA INSANI, 2001, 14.
[11]
Abdul Hamid Siddiqi, Sirah Nabi Muhammad saw, Bandung, Penerbit Marja,
2001, 44.
[12]
Abdul Hamid Siddiqi, Sirah Nabi Muhammad saw, Bandung, Penerbit Marja,
2001, 45-46.
[13] Syaikh
Shafiyyurrahman Al- Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, Terjemahan oleh Kathur
Suhardi, Jakarta Timur, Pustaka Al- Kautsar, 2008, 19.
[14] http://spistai.blogspot.com/2009/03/sejarah-arab-pra-islam.html, diakses
tanggal 23 Maret 2013 pukul: 09:17 WIB.
[15] Syaikh Shafiyyurrahman Al- Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, Terjemahan
oleh Kathur Suhardi, Jakarta Timur, Pustaka Al- Kautsar, 2008, 18.
[16] Ibid,
[17] Ibid, 35-36.
[18] Ibid, 36.
[19] Moenawar Chalil, Kelengkapan
Tarikh Nabi Muhammad saw. jilid 1, Jakarta, Gema Insani, 2001, 27.
[20] Abdul Hamid Siddiqi,
Sirah Nabi Muhammad saw, Bandung, Penerbit Marja, 2001, 38.
[21] Syaikh
Shafiyyurrahman Al- Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, Terjemahan oleh Kathur
Suhardi, Jakarta Timur, Pustaka Al- Kautsar, 2008, 32.
[22]Abdul Hamid Siddiqi,
Sirah Nabi Muhammad saw, Bandung, Penerbit Marja, 2001, 39.
[25] Ibid, 43.
[26] Ibid, 44.
[29] Moenawar Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad, (Jakarta: Gema Insani, 2004), 20.
[30] Ibid,
22.
[32] Abdul Hamid Siddiq, Sirah Nabawi Muhammad Saw, (Bandung:
Marja, 2005), 57.
[33] Ibid, 55.
[34] Ibid,
48.
[35] Syaikh Shafiyyur Rahman Al-Mubarakfury, Sirah Nabawi, (Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2008), 24.
[36] Moenawar Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad, 24.
[37] Syaikh Shafiyyur Rahman Al-Mubarakfury, Sirah Nabawi, 28.
[38] Ibid.
[39] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar