BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Tasawuf, seperti kata
Reynold A. Nicholson merupakan salah satu unsure yang vital dalam Islam,
sehingga tanpa adanya pemahaman mengenai gagasan dan bentuk-bentuk sufistik
yang mereka kembangkan, kita bersusah payah menelusuri kehidupan keagamaan
Muhammad yang tmpak dipermukaan saja. Dalam pengertian umum mistik dan tasawuf
sering diidentikkan. Sebenarnya, jika dilihat lebih mendalam pengertian antara
kedua istilah ini mempunyai segi-segi persamannya. Karena itu, untuk mendekati
makna tasawuf yang diharapakan dapat menjelaskan secara utuh dan menyeluruh,
harus diketahui lebih dulu apa makna mistik itu. Islam memelihara keseimbangan
antara keperluan badani dan kebutuhan rohani, antara keutamaan dunia dan
akhirat. Kedamaian tidak mungkin ditemukan di dalam suatu peradaban yang
menyusutkan seluruh kesejahteraan manusia menjadi kebutuhan hewani dan menolak
untuk meyakini kebutuhan yang tidak bersifat duniawi. Tasawuf tidak berarti
suatu tindak pelarian diri dari kenyataan hidup sebagaimana telah dituduhkan
mereka yang anti, tetapi ia adalah usaha mempersenjatai diri (manusia) dengan
nilai-nilai rohaniah baru yang akan menegakkannya saat menghadapi kehidupan
materialistik dan juga untuk merealisasikan keseimbangan jiwanya, sehingga timbul
kemampuannya ketika menghadapi berbagai kesulitan ataupun masalah hidupnya.[1]
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
asal mula kata tashawwuf?
2. Bagaimana makna dan definisi
tashawwuf?
3. Bagaimana sumber, dasar, dan kandungan
tashawwuf?
- Bagaimana tujuan tashawwuf?
C. Tujuan
Pembahasan Masalah
1. Untuk
mengetahui asal mula kata tashawwuf.
2. Untuk mengetahui makna dan definisi
tashawwuf.
3. Untuk mengetahui sumber, dasar, dan kandungan
tashawwuf.
- Untuk mengetahui tujuan
tashawwuf.
D. Batasan
Masalah
Makalah
ini meMbahas tentang pengertian tasawuf dalam mata kuliah Akhlak Tasawuf.
Dengan demikian kami berharap pembahasan kami terfokus pada tema tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Asal
Mula Kata Tashawwuf
1. Secara etimologis, para ahli
berselisih tentang asal kata tasawuf, antara lain :
a. Shuffah (serambi tempat duduk),
yakni serambi masjid nabawi di Madinah yang disediakan untuk orang-orang yang
belum mempunyai tempat tinggal dan kalangan Muhajirin di masa Rasulullah SAW.
Mereka biasa dipanggil ahli shuffah (pemilik serambi) karena di serambi masjid
itulah mereka bernaung.
b. Shaf ( barisan ), karena kaum shufi
mempunyai iman kuat, jiwa bersih, ikhlas, dan senantiasa memilih barisan yang
paling depan dalam sholat berjamaah atau dalam perang suci.
c. Shafa : bersih atau jernih.
d. Shufanah : Sebutan nama kayu yang
bertahan tumbuh di padang pasir.
e. Shuf (bulu domba), disebabkan karena
kaum sufi biasa menggunakan pakaian dari bulu domba yang kasar, sebagai lambang
akan kerendahan hati mereka, juga menghindari sikap sombong, serta meninggalkan
usaha-usaha yang bersifat duniawi. Orang yang berpakaian bulu domba disebut
“mutashawwif”, sedangakan perilakunya disebut “tasawuf”.
f. Theosofi : Ilmu ketuhanan. Tetapi
yang terakhir ini tidak disetujui oleh H.A.R.Gibb. Dia cenderung kata tasawuf
berasal dari Shuf (bulu domba).
2. Pengertian secara terminologis:
Sedangkan menurut terminologis pun,
tasawuf diartikan secara variatif oleh para ahli sufi, antara lain yaitu:
Imam Junaid dari Baghdad (m. 910), mendefinisikan tasawuf sebagai “mengambil setiap sifat mulia dan meninggalkan setiap sifat rendah”.
Imam Junaid dari Baghdad (m. 910), mendefinisikan tasawuf sebagai “mengambil setiap sifat mulia dan meninggalkan setiap sifat rendah”.
a.
Syekh Abul Hasan asy-Syadzili (m. 1258) syekh sufi besar
dari Afrika Utara, mendefinisikan tasawuf sebagai “praktik dan latihan diri
melalui cinta yang dalam dan ibadah untuk mengembalikan diri kepada jalan Tuhan”.
b.
Sahal al-Tustury (w 245) mendefinisikan tasawuf dengan “
orang yang hatinya jernih dari kotoran, penuh pemikiran, terputus hubungan
dengan manusia, dan memandang antara emas dan kerikil”.
c.
Syeikh Ahmad Zorruq (m. 1494) dari Maroko mendefinisikan tasawuf
sebagai berikut:
“Ilmu yang denganya anda dapat memperbaiki hati dan menjadikannya semata-mata bagi Allah, dengan menggunakan pengetahuan anda tentang jalan islam, khususnya fiqih dan pengetahuan yang berkaitan, untuk memperbaiki amal anda dan menjaganya dalam batas-batas syariat islam agar kebijaksanaan menjadi nyata”.
“Ilmu yang denganya anda dapat memperbaiki hati dan menjadikannya semata-mata bagi Allah, dengan menggunakan pengetahuan anda tentang jalan islam, khususnya fiqih dan pengetahuan yang berkaitan, untuk memperbaiki amal anda dan menjaganya dalam batas-batas syariat islam agar kebijaksanaan menjadi nyata”.
B.
Makna Dan Definisi Tashawwuf
Tasawuf
ialah kesadaran murni yang mengarahkan jiwa secara benar kepada amal dan
kegiatan yang sungguh-sungguh, menjauhkan diri dari keduniaan dalam rangka
mendekatkan diri kepada Allah AWT untuk mendapatkan perasaan berhubungan erat
denganNya.[2]
Sebagian ahli hakikat ada yang mengatakan, bahwa arti tashawwuf ialah berakhlak
mulia dengan segala perangai athaifatush shufiyah dan bertawasul dengan segala
sifat mereka, sehingga merpererat hubungan sesame mereka dan mereka dekat
dengan Allah.
Selain itu, masih banyak lagi para
ahli tashawwuf yang memberikan ta’rif atau definisi tntang tashawwuf,
diantaranya adalah:
1.
Syaikh Abul Qasim Al Junaidi bin Muhammad Al Khazzaz Al
Nahwandi mengatakan:
“Tashawwuf ialah hendaknya keadaanmu beserta Allah tanpa
adanya perantara”.
“Tashawwuf berarti memurnikan hati dari berhubungan dengan
makhluk-makhluk lain, meninggalkan sifat-sifat alamiyah, menekan sifat-sifat
manusiawi, menghindari godaan jasmani, mengabil sifat-sifat ruh, mengatakan
diri pada ilmu-ilmu tentang hakikat, mengumpulkan segala sesuatu untuk masa
yang kekal, menasehati seluruh umat, sungguh-sungguh beriman kepada Tuhan dan
mengikuti syari’ah Nabi”.
2.
Syaikh Ma’ruf bin Al Faizan Abu Mahfudh Al Abid yang
terkenal dengan sebutan Al Karkhi berkata:
“Tashawwuf adalah mencari hakikat dan meinggalkan dari
segala sesuatu yang ada pada tangan makhluk”.
3.
Syaikh Abul Husain Ahmad bin Muhammad An Nuri berkata:
“Tashawwuf bukan suatu bentuk tentu akan bisa dicapai dengan
perjuangan. Begitu pula bila tashawwuf itu merupakan suatu ilmu tentu dapat
dicapai dengan cara menuntutnya. Namun tashawwuf berakhlak dengan akhlak Allah.
Dan akhlak illahi takkan bisa dicapai dengna ilmu dan gambaran”.
4.
Syaikh Abul Faidl Dzunnun Al Mishri berkata:
“Shufi adalah orang yang tidak payah karena mencari dan
tidak susah karena musnahnya milik”.
5.
Syaikh Abu Muhammad Sahl bin Abduullah At Tustari berkata:
“Shufi adalah orang yang bersih dari kotoran-kotoran (kekeruhan)
dan penuh pemikiran dan hanya memusatkan pada Allah semata-mata tanpa manusia
dan sama baginya harta benda dengan tanah liat”.
C.
Sumber, Dasar, dan Kandungan
Tashawwuf
Untuk
memperjelas dan memperkuat bahwa tashawwuf dalam Islam tumbuh dan berkembang
dari sumber pokok ajaran Islam sendiri, maka terlebih dahulu perlu dikemukakan
teori-teori tentang asal-usul timbulnya tashawwuf dalam Islam yang berbeda-beda
itu, antara lain:
a. Adanya pengaruh dari agama Kristen
dengan faham menjauhi dunia dan hidup mengasingkan diri dalam biara-biara.
b. Falsafah mistik Phytagoras yang
berpendapat bahwa roh manusia bersifat kekal dan berada di dunia sebagai orang
asing.
c. Filsafat Emanasi Plotinus yang
mengatakan bahwa wujud ini memancar dari Zat Tuhan Yang Maha Esa. Roh berasal
dari Tuhan dan akan kembali kepada
Tuhan.
d. Ajaran Budha dengan faham
nirwananya. Untuk mencapai nirwana, orang harus meniggalkan dunia dan memasuki
hidup kontemplasi.
e. Ajaran-ajaran Hinduisme yang juga
mendorong manusia untuk meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan untuk mencapai
persatuan Atma dengan Brahman.
Diantara ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadist-hadist Rasulullah
yang menjadi dasar ajaran tashawwuf adalah antara lain sebagai berikut:
Artinya: “Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai
Allah ikutilah aku, niscaya Allah mengasihimu dan mengampuni dosa-dosamu. Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Q.S Ali Imron: 31).
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan
menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah
kepada-Nya di waktu pagi dan petang”. (Q.S Al Ahzab: 41-42).
Dasar – Dasar Tasawuf:
Landasan Normatif
Alquran:
وَلِلّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا
تُوَلُّواْ فَثَمَّ وَجْهُ اللّهِ إِنَّ اللّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Artinya: "Dan kepunyaan Allah-lah
timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui." (Q. S. 2.
Al-Baqoroh, A. 115).
وَإِذَا
سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا
دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُواْ لِي وَلْيُؤْمِنُواْ بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
Artinya: "Dan apabila
hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku
adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo'a apabila ia memohon
kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan
hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam
kebenaran." (Q. S. 2. Al-Baqarah, A. 186).
وَلَقَدْ
خَلَقْنَا الْإِنسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ
إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ
Artinya: "Dan sesungguhnya Kami
telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan
Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya." (Q. S. 50. Qof, A.
16).
فَوَجَدَا
عَبْداً مِّنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِندِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِن
لَّدُنَّا عِلْماً
Artinya: "Lalu mereka bertemu
dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan
kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu
dari sisi Kami." (Q. S. 18. Al-Kahfi, A. 65).
Kandungan
Tashawwuf:
Ilmu tashawwuf yang pada intinya adalah
sebagai usaha untuk menyingkap hijab (tabir) yang membatasi diri manusia dengan
Allah SWT dengan sistem yang tersusun melalui latihan ruhaniyah atau riyadlotun
nafs, pada pokoknya bila dipelajari secara seksama adalah mengandung empat
unsur, yaitu:[3]
a.
Metaphisica, yaitu
hal-hal yang diluar alam dunia atau bisa juga dikatakan sebagai ilmu ghoib. Hal
ini sangat tepat sekali, dalam ilmu tashawwuf banyak sekali membicarakan
masalah-masalah keimanan, iman tentang adanya Allah, Malaikat, Surga, Neraka
dan didalamnya juga terdapat unsur-unsur akhirat, dimana kebanyakan bersumber
pada cinta, yaitu cinta seorang shufi kepada Tuhan.
b.
Ethica, yaitu ilmu yang
menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan melihat pada amal
perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui akal pikiran.
c.
Psikologia, yaitu
masalah yang berhubungan dengan jiwa. Psikologi dalam pandangan tashawwuf
sangat berbeda dengan psikologi modern. Psichologi modern ditujukan dalam
menyelidiki manusia bagi orang lain, yakni jiwa orang lain yang diselidikinya.
Sedangkan psichologi dalam tashawwuf memfokuskan penyelidikan terhadap diri
sendiri.
Dalam tashawwuf,
penyelidikan terhadap diri sendiri sangat ditekankan. masalahnya penyelidikan
terhadap diri sendiri ini diarahkan terhadap penyadaran diri sendiri. Karena
manusia tidak akan bisa mengenal keberadaan dan kebesaran Allah sebelum
mengenal diri sendiri.
d.
Esthetica, yaitu ilmu
keindahan yang menimbulkan seni. Untuk meresapkan seni itu dalam diri, haruslah
ada keindahan dalam diri sendiri. Adapun puncak keindahan itu adalah cinta.
D.
Tujuan Tashawwuf
Ilmu
tashawwuf ialah tuntunan yang dapat menyampaikan manusia kepada mengenal Tuhan
atau ma’rifat billah dan melalui tashawwuf ini pula ia dapat melangkah sesuai
dengan tuntunan yang paling baik dan benar, dengan akhlak yang indah dan aqiqah
yang kuat.[4]
Oleh Karena itu, bagi orang-orang
muthasawwufi tidak mempunyai tujuan lain dalam bertaqarrub kepada Allah melalui
thariqah atau jalan dalam tashawwuf ini, kecuali hanyalah bertujuan untuk
mencapai “ma’rifat billah” (mengenal Allah). Bagi orang-orang mutashawwufin
dalam mendekatkan diri kepada Allah selalu dilandasi semangat beribadah dengan
tujuan untuk mencapai kesempurnaan hidup dan ma’rifatullah.[5]
Adapun yang dimaksud dengan tujuan
mencapai kesempurnaan hidup dan ma’rifatullah dalam pandangan tashawwuf adalah,
sbb:[6]
a.
Ma’rifat billah
Ma’rifat billah adalah melihat Tuhan
dengan hati mereka dengan secara jelas dan nyata dengan segala kenikmatan dan
kebesarannya, tapi tidak dengan kaifiyat artinya Tuhan menggambarkan seperti
benda atau manusia ataupun yang lain dengan ketentuan bentuk rupa sebagai
jawaban kaefa (Bagaimana zat Tuhan itu). Dalam hal ini Sayyid Abi Bakar Al
Maliki menjelaskan, bahwa Ma’rifat kepada Allah adalah merupakan suatu cahaya
yang telah dipancarkan Allah di hati hamba-Nya, sehingga dengan cahaya tersebut
hamba Allah tadi bisa melihat rahasia-rahasia kerajaan Allah di bumi dan di
langit dan hamba Allah tersebut bisa mengamat-amati sifat kekuasaan dan
kekuatan Tuhan.
Ma’rifat adalah suatu pemberiaan Tuhan
pada hati yang bersih dan dapat menghilangkan tabir yang memisahkan antara
makhluq dengan Khaliq. Ma’rifat billah tetap bisa dicapai oleh seseorang bila
sudah menjalankan syari’at dan membersihkan jiwanya dari segala kotoran
maksiat.[7]
Bagi para mutashawwufin, Ma’rifat billah
ini adalah tujuan utama dan merupakan kelezatan yang paling tinggi menurut
pengakuan Imam Ghazali dimana beliau mengatakan sebagai berikut : “Kelezatan
mengenal Tuhan dan melihat keindahan Ketuhanan dan melihat rahasia-rahasia hel
Ke-Tuhan-an adalah lebih lezat dari derajat kepemimpinan yang merupakan top
dari kelezatan-kelezatan yang ada pada makhluq”.
Kiranya sangat sulitlah menggambarkan
dengan lisan atau tulisan akan kebesaran ni’mat, lezat dan bahagianya orang
yang telah sampai pada Ma’rifat akan Tuhan Maha Esa, setelah tersingkapnya
hijab yang menghalang-halangi antara Khaliq dan makhluq.[8]
Dari uraian-uraian tersebut diatas bisa
diambil suatu kesimpulan, bahwa:[9]
1. Ma’rifat
billah bisa dikasab dengan melalui beberapa tingkatan.
2. Ma’rifat
billah dicapai dengan adanya nur yang dianugerahkan Allah ke dalam hati yang
bersih sesudah hamba itu terlepas dari belenggu nafsu dan kotoran ma’shiyat,
jadi sekali-kali tidak dicapai dengan panca indera.
b.
Insan Kamil
Tujuan tashawwuf berikutnya adalah
tercapainya martabat dan derajat kesempurnaan atau insan kamil. Manusia yang
sudah mengenal dirinya sendiri, keberadaannya dan memiliki sifat-sifat utama.
Sebagaimana dikemukakan Ibnul Arobi,
seorang ahli tashawwuf yang berfaham pantheisme atau wihdatul wujud sehingga
oleh karenanya beliau dituduh oleh orang-orang ahli sunnah sebagai orang yang
keluar dari Islam, sebagai orang mulhid dan zindiq, beliau dalam masalah insan
kamil ini berpendapat “Manusia utama atau insan kamil itu ialah manusia yang
sempurna karena adanya realisasi wahdah asasi Tuhan yang mengakibatkan adanya
sifat dan keutamaan Tuhan padanya.” Dalam hal ini Bahrun Rangkuti telah
mensitir pendapat Ibnul Arobi tentang insan kamil, dimana beliau mengatakan
“Menurut Ibnul Arobi, manusia utama adalah maniatur dari kenyataan (Al Haq)
itu”.
Masalah insan kamil yang telah
dikemukakan oleh Ibnul Arobi ini adalah bertentangan dengan pendapat Sir
Muhammad Iqbal, sebab pendapat Ibnul Arobi ini berdasarkan dengan adanya
pengeleburan diri Zat Tuhan dengan pribadi Insan yang oleh Iqbal dinyatakan
tidak mungkin sama sekali sebab Tuhan itu amat sempurna. Adapun pendapat Sir
Muhammad Iqbal tentang Insan Kamil itu sama dengan pendapat Maulana Jalaluddin
Rumi yang menyatakan : “Insan Kamil ialah seorang yang sadar ke-aku-annya yang
faaiq dan abadi, yang tak diciptakan dan bersifat Ilahi. Mungkin setiap seorang
merealisasikannya, itulah tujuan dan akhir kehidupan. Insanul Kamil langsung
berhubungan dengan Tuhan, taklah ada lagi Nabi atau Malaikat yang mengantara
padanya”.[10]
Adapun perkembangan Insan menurut
Muhammad Iqbal adalah dengan memperkuat pribadi. Sedangkan hal-hal yang
memperkuat pribadi menurut beliau ada enam, yaitu:[11]
1. Isyq
mahabbat, yakni cinta kasih.
2. Faqr
yang artinya sikap tak peduli terhadap apa yang disediakan oleh dunia ini,
sebab bercita-cita yang lebih agung lagi.
3. Keberanian,
yang dimaksud berani disini bukan sekedar berani jasmaniyah juga berani moril
dalam memegangi iman dan keyakinannya tentang ukurannya sendiri akan nilai dan
mutu kehidupan sekalipun orang mentertawakan dan mencemoohkan kepadanya.
4. Sikap
tenggang menenggang (tolerance) terhadap pendapat dan sikap orang lain.
5. Kasbil
halal yang sebaik-baiknya tersalin dengan : hidup dengan usaha dan nafkah yang
sah.
6. Mengerjakan
kerja kreatif dan asli : dalam hal ini termasuk usaha kerohanian jangan sekedar
menjadi ahli waris, jangan sekedar menjiplak dan meniru. Sebab jiplakan dan
tiruan taklah ada gunanya bagi pertumbuhan pribadi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Secara etimologis, asal kata
tasawuf, antara lain : Shuffah (serambi tempat duduk), Shaf ( barisan ), Shafa (bersih
atau jernih), Shufanah (Sebutan nama kayu yang bertahan tumbuh di padang pasir),
Shuf (bulu domba), Theosofi (Ilmu ketuhanan).
- Tasawuf ialah kesadaran murni
yang mengarahkan jiwa secara benar kepada amal dan kegiatan yang
sungguh-sungguh, menjauhkan diri dari keduniaan dalam rangka mendekatkan
diri kepada Allah AWT untuk mendapatkan perasaan berhubungan erat
denganNya.
- Teori tentang asal-usul
tashawwuf yang berbeda-beda dapat memperjela dan memperkuat bahwa
tashawwuf dalam Islam tumbuh dan berkembang dari sumber pokok ajaran Islam
sendiri. Dasar-dasar tashawwuf, landasan
normatif dalam Al Qur’an seperti Q.S Al-Baqoroh, ayat 115.
Tashawwuf mengandung empat unsur, yaitu: Metaphisica, Ethica, Psikologia, dan
Esthetica.
4. Tujuan
tashawwuf yaitu:
a. Ma’rifat
billah, adalah melihat Tuhan dengan hati mereka dengan secara jelas dan nyata
dengan segala kenikmatan dan kebesarannya.
b. Insan
Kamil, yakni tercapainya martabat dan derajat kesempurnaan.
B. Saran
1. Untuk para pendidik sebaiknya lebih
bisa mengenali berbagai macam perubahan yang terjadi dalam lingkungan social
yang dapat mempengaruhi kualitas peserta didik.
2. Untuk para calon pendidik sebaiknya
selalu mampu mengikuti perkembangan dan perubahan yang terjadi pada lingkungan
social.
3. Untuk peserta didik sebaiknya mampu
meningkatkan pengetahuan yang mendukung perubahan positif dalam proses
pendidikan.
DAFTAR
RUJUKAN
Asmaran,
Pengantar Studi Tasawuf. 1994. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada.
Risalah memahami ilmu
tashawwuf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar