BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian
Qaul Shahabi
Semasa Rasulullah masih
hidup, semua masalah yang muncul atau timbul dalam masyarakat langsung
ditanyakan para Shahabat kepada Rasulullah SAW, dan Rasulullah SAW memberikan
jawaban dan penyelesaiannya. Setelah Rasulullah SAW meninggal dunia, maka
kelompok Shahabat berusaha dengan sungguh-sungguh memecahkan persoalan
tersebut, sehingga kaum muslimin dapat beramal sesuai dengan fatwa-fatwa Shahabat
itu. Kemudian fatwa-fatwa Shahabat ini diriwayatkan oleh tabi’in, tabi’it
tabi’in dan orang-orang yang sesudahnya, seperti meriwayatkan hadits.[1]
Pendapat yang lain mengemukakan
bahwa seiring dengan situsi dan kondisi pada masa Shahabat, setelah wafat
Rasulullah SAW, banyak Shahabat yang tampil memberikan pendapat (fatwa) dalam
menjawab berbagai masalah hukum yang muncul. Sebagian ahli ushul fiqh menyebut
pendapat Shahabat dengan Qaul Shahabi (perkataan/pendapat Shahabat). Sebagian
lain menamakannya dengan fatwa shahabi. Sementara itu, banyak pula ahli fiqh
menyebutnya dengan Madzhab Shahabi.
Pengertian Madzhab Shahabi sendiri secara etimologi yaitu
kata madzhab merupakan sighat isim makan
dari fi’il madli zahaba yang artinya pergi. Oleh karena itu,mazhab artinya :
tempat pergi atau jalan. Kata-kata yang semakna ialah : maslak, thariiqah dan
sabiil yang kesemuanya berarti jalan atau cara.
Sesuatu dikatakan madzhab bagi seseorang jika cara atau
jalan tersebut menjadi cirri khasnya. Menurut para ulama dan ahli agama Islam,
yang dinamakan madzhab adalah metode (manhaj) yang dibentuk setelah melalui
pemikiran dan penelitian, kemudian orang yang menjalaninya menjadikannya
sebagai pedoman yang jelas batasan-batasannya, bagian-bagiannya, dibangun di
atas prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah. Dengan demikian ,madzhab shahabat
adalah jalan yang ditempuh para shahabat.
Pengertian madzhab menurut istilah dalam kalangan umat
Islam ialah : Sejumlah dari fatwa-fatwa
dan pendapat-pendapat seorang alim
besar di dalam urusan agama, baik ibadah maupun lainnya. Dalam buku Nasrun
Harun, mengungkapkan Madzhab Shahabi berarti “pendapat para shahabat Rasulullah
SAW. Yang dimaksud pendapat Shahabat adalah pendapat
para Shahabat tentang suatu kasus yang dinukil para Ulama, baik berupa fatwa
maupun ketetapan hukum, sedangkan ayat atau hadits tidak menjelaskan hukum
terhadap kasus yang dihadapi Shahabat tersebut.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa pengertian dari madzhab
adalah : jalan yang ditempuh oleh para shahabat dalam menempuh atau mentapkan
hukum Islam, yaitu berdasarkan qur’an, sunnah dan ijtihad. Jadi madzhab shahabi
adalah jalan yang ditempuh oleh para
shahabat dalam menetapkan hukum Islam berdasarkan Al-Qur’an, sunnah dan hadits.
Sedangkan qaul shahabi ialah fatwa-fatwa
yang dikeluarkan oleh shahabat Nabi SAW, menyangkut hukum masalah-masalah yang
tidak diatur dalam nash, baik kitab maupun sunnah.[2]
B.
Pengertian Shahabat
Menurut Jumhur
Fuqaha, Shahabat adalah orang-orang yang bertemu Rasulullah SAW, yang langsung
menerima risalahnya, dan mendengar langsung penjelasan syari’at dari beliau
sendiri. Oleh karena itu Jumhur Fuqaha telah menetapkan bahwa pendapat mereka
dapat dijadikan hujjah sesudah dalil-dalil nash.[3]
Dalam pandangan Muhammad Al-Khatib, Shahabat adalah
setiap orang Islam yang hidup bergaul dengan Nabi SAW dalam waktu yang cukup
lama dan menimba ilmu darinya, seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin
Affan, Ali bin Abi Thalib, Aisyah, Abdullah bin Mas’ud, Zaid bin Tsabit dan
Abdullah yang bersumber dari Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW, kepada generasi
sesudahnya.[4]
Menurut ulama hadist, shahabat ialah orang yang pernah
bertemu dengan Nabi dan wafat dalam keadaan Islam. Ahli hadist mensyaratkan
pernah bertemu dengan Nabi. Dan syarat yang mutlak harus ada pada shahabat itu
ialah ia wafat dalam keadaan Islam. Sekalipun prang tersebut bisa menyertai
Nabi, namun jika mati tidak dalam keadaan Islam, maka tidak disebut shahabat.
Seperti paman Nabi, Abu Thalib. Tetapi ada yang memperlonggar syarat itu dengan
cukup pernah hidup semasa dengan Nabi,
meskipun tidak pernah bertemu Nabi secara berhadap-hadapan.
Pendapat yang lain mengatakan bahwa
shahabat adalah orang-orang yang bertemu Rasulullah SAW, yang langsung menerima
risalahnya, dan mendengarkan langsung penjelasan syari’at dari beliau sendiri.
Para ahli ushul fiqh menetapkan bahwa pendapat mereka dapat dijadikan hujjah
sesudah dalil-dalil nash
Menurut pandangan ahli ushul, yang disebut shahabat
adalah seseorang dan hidup bersamanya dalam waktu yang panjang, dijadikan
rujukan oleh generasi sesudahnya dan mempunyai hubungan khusus dengan
Rasulullah SAW. Sehingga secara adat dinamakan sebagai shahabat. Ada pula ulama
yang mempersingkat identitas shahabat itu dengan “orang-orang yang bertemu dan
beriman kepada Nabi Muhammad SAW, serta hidup bersamanya dalam waktu yang cukup
lama.
Bahkan menurut Badran, ada ulama yang menambah
persyaratan untuk disebut shahabat dalam hubungannya dengan hukum syara’ yaitu
pada dirinya terdapat bakat atau bawaan (malakah)
dalam bidang fiqh, sehingga tidak semua orang yang menyertai kehidupan Nabi disebut shahabi dalam pengertian ushuliyun
(ulama ahli ushul).
C.
Bentuk Qaul Shahabi
Abu Zahrah
menguraikan beberapa kemungkinan bentuk Qaul Shahabi:
a. Apa yang disampaikan shahabat itu adalah suatu
berita yang didengarnya dari Nabi, namun ia tidak menjelaskan bahwa berita itu sebagai sunnah
Nabi.
b. Apa yang disampaikan
shahabat itu sesuatu yang dia dengar dari orang yang pernah mendengarnya dari
Nabi, tetapi tidak ada penjelasan dari orang tersebut bahwa yang didengarnya
berasal dari Nabi.
c. Apa yang disampaikan
shahabat itu adalah hasil pemahamannya terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang orang
lain tidak memahaminya.
d. Apa yang disampaikan
shahabat itu sesuatu yang sudah disepakati oleh lingkungannya, namun yang
menyampaikannya hanya shahabat tersebut seorang diri.
e. Apa yang disampaikan
shahabat itu adalah hasil pemahamannya atas dalil-dalil, karena kemampuannya
dalam bahasa dan dalam penggunaan dalil
lafadz.
Imam Ibnu Qayyim di dalam kitabnya I’lamul Muwaqqi’in
menyatakan bahwa fatwa shahabat tidak keluar dari 6 bentuk:
a. Fatwa yang didengar
sahabat dari Nabi.
b. Fatwa yang didasarkan
dari oramg yang mendengar dari Nabi.
c. Fatwa yang
didasarkan atas pemahamannya terhadap al-qur’an yang agak kabur pemahaman
ayatnya bagi kita.
d. Fatwa yang
disepakati oleh tokoh shahabat sampai kepada kita melalui seorang shahabat.
e. Fatwa yang didasarkan
kepada kesempurnaan ilmunya, baik bahasa maupun tingkah lakunya, kesempurnaan
ilmunya tentang keadaan Nabi dan maksud-maksudnya. Kelima hal ini adalah hujjah
yang wajib diikuti.
f. Fatwa yang berdasarkan
pemahaman yang tidak datang dari Nabi dari salah pemahamannya, maka hal ini
tidak menjadi hujjah.[5]
D.
Kehujjahan Qaul Shahabi
Maksud kehujjaha
di sini adalah kekuatan yang mengikat untuk dijalankan umat Islam, sehingga akan
berdosa jika meninggalkannya, sebagaimana berdosanya meninggalkan perintah
Nabi. Pembicaraan tentang apakah Qaul Shahabi itu menyangkut beberapa segi
pembahasan, yaitu :
(1) Pembahasan
dari kehujjahannya terhadap sesama shahabat yang lain, dan kehujjahannya
terhadap genarasi berikutnya atau orang
yang selain shahabat.
(2) Pembahasan dari
segi bentuk qaul shahabi, dapat dibedakan antara kemungkinannya berasal dari ijtihad pribadi
shahabat tersebut atau melalui cara lai
Para ulama berbeda pendapat dalam
hal ini, yaitu:
1. Pendapat
shahabat yang berada di luar lingkup ijtihad, meskipun secara terang tidak
disebutkan berasal dari Nabi, dapat menjadi hujjah. Bila terdapat dua pendapat
atau lebih yang berbeda dalam bentuk ini, maka diselesaikan dengan cara atau
metode yang lazim (berlaku).
2.
Pendapat
shahabat dalam lingkup ijtihad, tentang kehujjahannya tergantung untuk siapa
pendapat shahabat itu diberlakukan. Para ulama sepakat bahwa pendapat shahabat
dalam bentuk ini tidak menjadi hujjah untuk sesama sahabat lainnya, baik ia
seorang imam, hakim atau mufti. Kesepakatan ulama ini dinukilkan oleh
kebanyakan ahli ushul, diantaranya oleh al-Amidi. Juga dinukilkan oleh dua
pakar ushul fiqh, yaitu : Ibn Subki dan al-Asnswi, yang mengajukan argumentasi
sebagai berikut :
a. Bila shahabat yang lain itu adalah mujtahid, maka
pendapat seorang shahabat tidak
dapat diberlakukan bagi shahabat lainnya itu, karena seorang mujtahid tidak
boleh bertaqlid kepada yang sesame shahabat lainnya. Kalau shahabat lain itu
bukan mujtahid, tentu ia menjadi muqallid (bertaklid), namun hal ini lemah sifatnya
karena hal ini juga berlaku untuk kalangan orang yang bukan mujtahid.
b.
Ada ijma’ di kalangan sahabat yang membolehkan seorang shahabat berbeda
pendapat dengan shahabat lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa pendapat seorang
shahabat tidak mempunyai kekuatan yang mengikat terhadap shahabat lainnya.
Tidak ada celaan dari seorang shahabat terhadap shahabat lainnya bila ia tidak
seoendapat. Hal ini menunjukkan bahwa pendapat seorang shahabat tidak mempunyai
kekuatan yang mengikat bagi shahabat lainnya.
Dalam menentukan kehujjahan atau kekuata Qaul
Shahabi sebgaiai dalil hukum terkait dengan bentuk dan asal fatwa shahabat.
Dalam hal ini, pendapat ahli ushul fiqh tentang bentuk fatwa shahabat dapat
dijadikan sebagai tolak ukur menentukan hal itu.
Menurut Abdul Karim Zaidan, fatwa atau
pendapat sahabat dapat dibagi kepada empat macam, yaitu:
1.Fatwa
shahabat yang bukan berasal dari hasil ijtihadnya. Para ulama tidak berbeda
pendapat dalam menjadikan fatwa shahabat seperti ini sebagai hujjah dalam menentukan
hukum bagi generasi sesudahnya. Misalnya fatwa Ibnu Mas’ud tentang batas
minimal waktu haid tiga hari dan batas minimal mas kawin sebanyak sepuluh
dirham. Fatwa-fatwa shahabat seperti ini, diduga kuat bukan hasil ijtihad
sahabat, tetapi mereka terima langsung dari Nabi SAW.
2.Fatwa
sahabat yang disepakati secara tegas dikalangan mereka yang dikenal dengan
ijma’ shahabat. Fatwa shahabat seperti ini merupakan hujjah dan mengikat bagi
generasi sesudahnya.
3. Fatwa shahabat secara individu tidak mengikat
shahabat yang lain. Oleh sebab itu, tidak jarang para mujtahid di kalangan
shahabat berbeda pendapat dalam suatu masalah
.4. Fatwa shahabat secara individu berasal dari
hasil ijtihadnya dan tidak terdapat kesepakatan
shahabat tentangnya. Mengenai hal ini terjadi perbedaan pendapat ulama, apakah
fatwa tersebut mengikat generasi berkembang beberapa pendapat dikalangan ulama.
D. Pendapat Ulama Berkenaan Dengan
Kehujjahan Qaul Shahabi
Sebagian ulama menyatakan bahwa ada dua macam
pendapat shahabat yang dapat
dijadikan hujjah, yaitu :
a.Pendapat
para shahabat yang diduga keras bahwa pendapat tersebut sebenarnya berasal dari
Rasulullah SAW, karena pikiran tidak atau belum dapat menjangkaunya, seperti
ucapan Aisyah RA, yang artinya :
“Kandungan itu tidak akan lebih
dari dua tahun dalam perut ibunya, (yaitu tidak akan) lebih dari sepanjaang bayang-bayang benda
yang ditancapkan.” (HR. Daraquthni).
b.
Pendapat shahabat yang tidak ada shahabat lain yang menyalahkannya, seperti
pendapat tentang bahwa nenek mendapat seperenam (1/6) bagian waris, yang
dikemukakan oleh Abu Bakar, dan tidak ada shahabat yang tidak sependapat
denganny
Sedang
pendapat shahabat yang tidak disetujui oleh shahabat yang lain tidak disetujui
oleh shahabat yang lain tidak dapat dijadikan hujjah. Pendapat ini dianut oleh
golongan Hanafiyah, Malikiyah dan Ahmad bin Hanbal dan sebagian Syafi’iyah, dan
didahulukan dari qias. Bahkan Ahmad bin Hanbal mendahulukannya dari hadits
mursal dan hadits dha’if.
As-Syaukani menganggap pndapat shahabat itu seperti pendapat
para mujtahid yang lain, tidak harus kita mengikutinya.[6]
Para ulama berbeda pendapat mengenai
kehujjahan pendapat shahabat bagi orang lain yang selain shahabat, seperti:
tabi’in (generasi sesudah shahabat), tabi’itabi’in (generasi sesudah tabi’in)
dan generasi berikutnya :
1.Pendapat
kalangan ulama yang terdiri dari dari ulama Asy’ariyah dan Mu’tazilah, Imam
Syafi’I dalam satu qaulnya, Ahmad dalam satu riwayatnya, dan al-Karakhi dari
ulama Malikiyah. Mereka mengatakan bahwa pendapat shahabat yang berasal dari
ijtihadnya tidaklah menjadi hujjah bagi generasi sesudahnya. Pendapat inilah
yang dipilih oleh al-Amidi.
Mereka
mengemukakan argument sebagai berikut :
a.Firman
Allah dalam surat al-Nisa’ ayat 59 yang artinya :”Jika kamu berselisih pendapat,
kembalikanlah kepada Allah dan Rasul.”
Dalam
ayat ini ada perintah Allah untuk mengembalikan urusan kepada Allah dan Rasul
bila terdapat perselisihan pendapat. Seandainya boleh mengambil pendapat
shahabat, tentu Allah akan menyuruh umat berbuat demikian.
b.Ijma’ shahabat tentang kebolehan beda pendapat
anatara sesame shahabat. Seandainya pendapat seorang shahabat itu menjadi
hujjah, tentunya seorang shahabat wajib mengikuti yang lain, dan ini adalah
mustahil.
c.Shahabat
mengemukakan pendapatnya berdasarkan hasil ijtihadnya, sehingga ada kemungkinan
pendapatnya itu salah. Karenanya, pendapat shahabat itu tidak berdaya hujjah
terhadap orang lain.
d.Para shahabat terkadang berbeda pendapat dalam
beberapa masalah :
Sebagian
shahabat mengikuti pendapat yang berbeda dengan pendapat shahabat yang lain.
Kalau setiap pendapat shahabat itu menjadi hujjah terhadap shahabat yang lain
dan orang-orang sesudahnya, tentu hujjah-hujjah Allah itu berbeda atau
berbenturan satu sama lain. Mengikuti pendapat sebagian shahabat tidaklah lebih
dibandingkan dengan pendapat shahabat yang lain.
Al-Ustadz Abdul Wahab Khalaf di dalam Ilmu Ushul
Fiqh hujjah di dalam hal yang bersifat
sam’I dan bukan ‘aqli, karena para sahabat akan mendasarkan pendapatnya kepada
apa yang didengar dari Rasulullah, dan kedua, tidak ada perbedaan pendapat pula
bahwa segala yang disepakati para shahabat adalah hujjah karena kesepakatan
mereka atas sesuatu kasus adalah bukti bahwa menyandarkan pendapatnya kepada
dalil yang tegas/pasti, seperti hak
1/6 bagian kepada nenek/jadat.[7]
Pendapat
kalangan ulama yang terdiri dari: Malik ibn Anas, al-Razi, al-Barza’I dari
shahabat Abu Hanifah, al-Syafi’I dalam satu qaulnya (qaul qadim), dan Ahmad
dalam salah satu riwayatnya. Mereka berpendapat bahwa pendapat shahabat itu
menjadi hujjah secara mutlak. Mereka mengemukakan argument sebagai berikut:
a.Firman
Allah dalam surat Ali ‘Imran ayat 110, yang artinya:”Kamu adalah umat terbaik yang
dikeluarkan kepada manusia, menyuruh berbuat ma’ruf.”
b.Sabda
Nabi:”Para shahabatku adalah bintang
gemintan ; siapapun yang kamu ikuti kamu akan mendapat petunjuk.”
Hadist
ini mengisyaratkan untuk mengikuti apa yang diberikan oleh shahabat Nabi. Hal
ini menunjukkan kehujjahan pendapat yang disampaikan oleh shahabat.
Pendapat kalangan ulama yang tidak
bersikap secara mutlak (pasti) dalam menerima atau menolak pendapat shahabat;
artinya: menerima dalam bentuk tertentu dan menolak yang lainnya. Rincian
pendapat mereka adalah sebagai berikut:
a.Pendapat
shahabat dapat berdaya hujjah bila pendapat itu bertentangan dengan qiyas.
Alasannya adalah seperti yang dikemukakan al-Mahalli, bahwa para shahabat itu
biasa beramal dengan qiyas, kecuali bila menemukan dalil lain yang lebih kuat
yang mendorongnya untuk tidak menggunakan qiyas, baik dalam bentuk nash maupun
dalam bentuk ijma’. Bila seorang shahabat menyalahi qiyqs, maka kemungkinan
besar (kuat dugaan) bahwa ia mempunyai dalil yang lebih kuat. Bila pendapatnya
sama dengan qiyas, maka kemungkinan pendapatnya berlandaskan qiyas. Dalam
keadaan ini, maka qiyas itulah yang menjadi hujjah, dan bukan pendapat pribadi
shahabat tersebut.
b.
Pendapat shahabat yang didukung oleh qiyas qarib dapat menjadikan hujjah,
karena pendapat tersebut telah mendapat kekuatan oleh kesamaannya dengan qiyas.
c.
Pendapat shahabat dapat menjadi hujjah bila pendapatnya itu telah tersebar dan
tidak ditemukan ada pendapat lain yang menyanggahnya. Pendapat ini muncul di
kalangan ulama yang tidak menerima ijma’ sukuti sebagai dalil yang berdiri
sendiri. Jika ada pendapat pribadi seorang shahabat, meskipun pendapat itu
telah tersebar luas dan tidak ada yang membantahnya, tetapi tetap masih bernama
pendapat pribadi shahabat, bukan ijma’ sukuti dari shahabat. Pendapat shahabat
menjadi hujjah bukan karena ia telah menjadi ijma’ shahabi, tetapi karena
pendapat pribadi shahabat itu secara jelas tidak ada yang menyanggahnya.
Dalam beberapa literature ushul
fiqh, dikemukakan pendapat para ulama yang berpandangan bahwa kehujjahan pendapat
shahabat itu adalah secara terbatas bagi shahabat-shahabat tertentu saja.
Beberapa pendapat mereka adalah sebagai berikut:
1.Pendapat
shahabat yang berdaya hujjah hanyalah bila lahir dari Abu Bakar dan Umar ibn
Khattab bersama-sama. Dasarnya adalah hadits Nabi yang artinya; “Ikutilah dua orang sesudahku yaitu Abu Bakar
dan Umar.” Hadits ini dinyatakan hasan oleh al-Tarmidzi.
2.Pendapat
empat orang dari khulafa al-Rasyidin menjadi hujjah dan tidak dari shahabat
lainnya. Dasarnya adalah hadits Nabi yang dishahihkan oleh al-Tarmidzi: “Adalah kewajibannya untuk mengikuti sunnahku
dan sunnah Khulafa al-Rasyidin yang dating sesudahku”.
3.Pendapata
salah seorang Khulafa al-Rayidin selain Ali menjadi hujjah. Pendapat ini
dinukilkan dari al-Syafi’i. Tidak dimasukkannya Ali dalam kelompok shahabat ini
oleh al-Syafi’I bukan karena kurang dari segi kualitasnya dibandingkan
pendahulunya, tetapi karena setelah menjadi khalifah ia memindahkan
kedudukannya ke Kufah dan waktu itu para shahabat yang biasa menjadi narasumber
bagi khalifah dalam forum musyawarah pada masa sebelum Ali sudah tidak ada
lagi.
4.Pendapat
dari shahabat yang mendapat keistimewaan pribadi dari Nabi menjadi hujjah bila
ia berbicara dalam bidang keistimewaannya itu, seperti Zaid ibn Tsabit dalam
bidang faraid (hokum waris); Muaz ibn Jabal dalam bidang hokum di luar faraid,
dan Ali ibn Abi Thalib dalam masalah peradilan.
Di kalangan ulama yang menerima
kehujjahan pendapat shahabat secara mutlak, muncul perbedaan pendapat dalam
menempatkannya bila ia berhadapan dengan qiyas:
1.Ulama yang berpendapat bahwa pendapat shahabat itu
menjadi hujjah dan berada di atas qiyas
sehingga kalau terjadi perbenturan antara keduanya, maka yang harus didahulukan
adalah pendapat shahabat atas qiyas. Berdasarkan pendapat ini bila ada dua
pendapat shahabat yang berbeda dalam satu masalah, maka penyelesaiannya adalah
sebagaimana penyelesaian dua dalil yang bertentangan, yaitu melalui tarjih
(mencari dalil terkuat).
2.Ulama yang berpendapat bahwa pendapat shahabat itu
menjadi hujjah, namun kedudukannya di bawah qiyas dan bila terjadi perbenturan
di antara keduanya, maka harus didahulukan qiyas atas pendapat shahabat.
Berdasarkan
pendapat kedua di atas, apakah pendapat shahabat itu dapat digunakan untuk
mentakhsis umumnya dalil lafaz suatu hokum. Dalam hal ini para ulama juga
berbeda pendapat:
1.Ulama yang membolehkan untuk mentakhsis umumnya
dalil sebagaimana berlaku terhadap dalil-dali lain yang berdaya hujjah.
2.Ulama lainnya berpendapat tidak boleh untuk
mentakhsis umumnya dalil, karena para sahabat biasa meninggalkan pendapatnya
bila mendengar dalil yang umum.
Di
kalangan ulama yang menolak kehujjahan qaul shahabi berbeda pendapat pula dalam
hal apakah orang (generasi) sesudah shahabat boleh bertaqlid kepada shahabat.
Dalam hal ini ada dua pendapat:
1.Muhaqqiq, sebagaimana dikatakan Imam al-Haramain
dalam kitabnya al-Burhan, mengatakan tidak boleh. Alasannya adalah bahwa tidak
kuatnya kepercayaan pendapat shahabat tersebut, sebab pendapatnya tidak pernah
dibukukan. Lain halnya dengan pendapat Imam Mujtahid yang empat, umpamanya,
yang pendapatnya telah dibukukan oleh para muridnya. Hal ini bukan karena
kualitas ijtihad imam yang empat lebih tinggi dari ijtihadnya shahabat.
Pendapat seperti ini sejalan dengan pendapat al-Syafi’I dalam qaul jadid
(pandangan baru)nya.
2.Membolehkan secara mutlak dengan alas an rasional
bahwa bila orang boleh bertaqlid kepada seorang mujtahid sesudah masa shahabat,
tentu akan lebih boleh lagi bertaqlid kepada mujtahid shahabat.
3.Qaul qadim (pendapat lama) dari al-Syafi’I
mengatakan boleh bertaqlid kepada shahabat asalkan pendapatnya itu sudah
tersebar luas meskipun tidak dibukukan.
Dalam
menetapkan fatwa-fatwa shahabat sebagai hujjah, Jumhur fuqaha mengemukakan
beberapa argumentasi, baik dengan dalil aqli maupun dalil naqli. Adapun
dalil-dalil naqli adalah sebagai berikut:
1.Firman Allah SWT dalam surat at-Taubah ayat 100
yang artinya:”Orang-orang yang terdahulu
lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar
dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridla kepada mereka
dan mereka pun ridla kepada Allah.”
Dalam
ayat ini Allah SWT memuji orang-orang yang mengikuti para shahabat. Sebagai
konsekuensi logis dari pujian Allah SWT tersebut, berarti kita diperintahkan
untuk mengikuti petunjuk-petunjuk mereka, dan karena itu fatwa-fatwa mereka
dapat dijadikan hujjah.
2.Sabda Rasulullhah SAW yang artinya :”Saya adalah kepercayaan (orang yang
dipercaya) sahabatku, sedang sahabatku adalah kepercayaan para umatku”.
Kepercayaan
ummat kepada para shahabat berarti menjadikan fatwa-fatwa shahabat sebagai
bahan rujukan karena kepercayaan para shahabat kepada Nabi berarti kembalinya
mereka kepada petunjuk Nabi Muhammad SAW.
Sedang argumentasi yang bersifat akal (rasional)
ialah:
1. Para
shahabat adalah orang-orang yang lebih dekat kepada Rasulullah SWA disbanding
orang lain. Dengan demikian, mereka lebih mengetahui tujuan-tujuan syara’,
lantaran mereka menyaksikan langsung tempat dan waktu turunnya al-Quran,
mempunyai keikhlasan dan penalaran yang tinggi, ketaatan yang mutlak kepada
petunjuk-petunjuk Nabi, serta mengetahui situasi di mana nash-nash al-Quran
diturunkan. Oleh karena itu, fatwa-fatwa mereka lebih layak untuk diikuti.
2. Pendapat-pendapat
yang dikemukakan para shahabat sangat mungkin sebagai bagian dari sunnah Nabi
dengan alasan mereka sering menyebutkan hokum-hukum yang dijelaskan oleh
Rasulullah SAW. Tanpa menyebabkan bahwa hal itu dating dari Nabi, karena tidak
ditanya sumbernya. Demgan kemungkinan tersebut, di samping pendapat mereka
selalu didasarkan pada qiyas atau penalaran. Maka pandangan mereka lebih berhak
untuk diikuti, karena pandangan tersebut kemungkinan besar berasal dari nash
(hadist) serta sesuai dengan daya nalar
(rasional).
3. Jika
pendapat para shahabat didasarkan pada qiyas, sedang para ulama yang hidup
sesudah mereka juga menetapkan hokum berdasarkan qiyas yang berbeda dengan
pendapat shahabat, maka untuk lebih berhati- hati, yang kita ikuti adalah pendapat para shahabat. Karena Rasulullah
SAW bersabda; “Sebaik-baik generasi,
adalah generasiku dimana aku diutus oleh Allah dalam generasi tersebut”.
Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa pendapat para shahabat lebih
mendekati pada al-Quran dan Sunnah dibanding pendapat para ulama yang hidup
sesudah mereka, dengan mengatakan : Bila seorang sahabat mengemukakan suatu
pendapat, atau menetpkan suatu hokum, atau memberikan suatu fatwa, tentu ia
telah mempunyai pengetahuan yang juga kita miliki. Adapun pengetahuan yang
khusus diketahui shahabat, mungkin didengar langsung dari Rasulullah SAW, atau didengar dari Rasulullah melalui
shahabat yang lain. Pengetahuan yang hanya dimiliki oeh masing-masing sahabat
banyak sekali, sehingga para shahabat tidak dapat meriwayatkan semua hadist
yang didengar oleh Abu Bakar, Umar, dan tokoh-tokoh sahabat yang lain.
Diriwayatkan
oleh ar-Rabi’, bahwa Imam Syafi’i dalam kitabnya ar- Risalah dan al-Umm (kitab
yang baru), menunjukkan bahwa dalam menetapkan hokum, pertama tama Imam Syafi’I
mengambil dasar dari al-Quran dan sunnah, kemudian pendapat yang telah
disepakati oleh para shahabat. Setelah itu, pendapat-pendapat yang
diperselisihkan tersebut tidak mempunyai hubungan yang kuat dengan al-Quran dan
hadist, maka dia mengikuti apa yang dikerjakan oleh khulafa’ar-Rasyidin, karena
pendapat mereka telah masyhur, dan pada umumnya sangat teliti.
Demikian
juga Imam Malik RA. Dalam kitabnya al-Muwaththa’ banyak sekali hokum-hukum yang
didasarkan pada fatwa-fatwa shahabat. Imam Ahmad ibn Hanbal juga demikian.
Imam
asy-Syaukani berkata: “Sebenarnya, pendapat shahabat tidak dapat dijadikan
hujjah. Karena Allah SWT hanya mengutus seorang Nabi kepada umat ini, yaitu
Nabi Muhammad SAW, Rasul kita hanya satu, kitab kita juga hanya satu. Semua
ummat Muhammad, baik dari generasi shahabat maupun generasi sesudahnya, semua
diperintahkan untuk mengikuti kitab suci al-Quran dan Hadist. Oleh karena itu,
barangsiapa berpendapat bahwa dalam agama Allah terdapat hujjah selain
al-Quran, Sunnah dan sesuatu yang dikembalikan (diqiyaskan) kepada kedua hal
tersebut, berarti ia mengada-adakan sesuatu dalam syari’at Islam yang tidak
diperintahkan oleh Allah SWT adalah dosa besar dan kebohongan yang nyata”.
Tidak
diragukan lagi, bahwa pendapat asy-Syaukani di atas adalah dalam rangka menolak
pendapat para shahabat. Suatu hal yang harus diketahui, bahwa sewaktu para imam
madzhab mengikuti pendapat para shahabat, bukan berarti mereka menciptakan
risalah baru selain risalah Nabi Muhammad, dan menganggap hujjah pada selain
al-Quran dan Sunnah. Karena meskipun mereka mengambil pendapat para shahabat,
mereka tetap berpegang teguh pada satu Nabi, satu Sunnah dan satu kitab suci
al-Quran. Hanya saja mereka memandang bahwa para shahabat adalah orang-orang
yang menguasai al-Quran dan meriwayatkan hadist-hadist Rasul kepada generasi
sesudah mereka. Dengan demikian, mereka adalah orang-orang yang paling
mengetahui tentang syari’at Allah dan paling dekat kepada petunjuk-Nya. Oleh
karena itu, pendapat-pendapat mereka diperolah dari Rasulullah SAW, bukan
bid’ah yang dibuat-buat serta pendapat yang disengaja diciptakan. Sebaliknya,
pendapat-pendapat tersebut adalah bersumber dari nash-nash syara’, karena
mereka adalah orang-orang yang paling mengetahui tentang sumber-sumber hokum
dan arah serta tujuannya. Oleh karena itu, barangsiapa mengikuti mereka, ia
termasuk orang-orang yang difirmankan Allah dalam surat at-Taubah:100, yang
artinya: Dan orang-orang yang mengikuti
mereka dengan baik”.[8]
.
[1] Muin Umar, Ushul Fiqh, Jakarta: Departemen Agama, 1985, 163.
[2]Suryaputraalhikmah.blogspot.com/2012/03/qaul-shahabi.html.
Tgl akses; 16
0ktober 2012, 10,45.
[3]
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh,
Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999, 328.
[4] Pwkpersis.wordpress.com/hujjiah-mazhab-as
shahabi.html.
Tgl akses; 16
oktober 2012, 11.10.
[5]
A.Djazuli, Ushul Fiqh, Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2000, 212.
[6]
Muin Umar, Ushul Fiqh, Jakarta:
Departemen Agama, 163.
[7]
Djazuli, Ushul Fiqh, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2000, 211.
[8] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Pejaten Barat: Pustaka
Firdaus, 1999, 333.
ijin share ya
BalasHapus