Minggu, 12 Mei 2013

Qaul Shahabi


BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian Qaul Shahabi
Semasa Rasulullah masih hidup, semua masalah yang muncul atau timbul dalam masyarakat langsung ditanyakan para Shahabat kepada Rasulullah SAW, dan Rasulullah SAW memberikan jawaban dan penyelesaiannya. Setelah Rasulullah SAW meninggal dunia, maka kelompok Shahabat berusaha dengan sungguh-sungguh memecahkan persoalan tersebut, sehingga kaum muslimin dapat beramal sesuai dengan fatwa-fatwa Shahabat itu. Kemudian fatwa-fatwa Shahabat ini diriwayatkan oleh tabi’in, tabi’it tabi’in dan orang-orang yang sesudahnya, seperti meriwayatkan hadits.[1]
              Pendapat yang lain mengemukakan bahwa seiring dengan situsi dan kondisi pada masa Shahabat, setelah wafat Rasulullah SAW, banyak Shahabat yang tampil memberikan pendapat (fatwa) dalam menjawab berbagai masalah hukum yang muncul. Sebagian ahli ushul fiqh menyebut pendapat Shahabat dengan Qaul Shahabi (perkataan/pendapat Shahabat). Sebagian lain menamakannya dengan fatwa shahabi. Sementara itu, banyak pula ahli fiqh menyebutnya dengan Madzhab Shahabi.
            Pengertian Madzhab Shahabi sendiri secara etimologi yaitu kata madzhab merupakan  sighat isim makan dari fi’il madli zahaba yang artinya pergi. Oleh karena itu,mazhab artinya : tempat pergi atau jalan. Kata-kata yang semakna ialah : maslak, thariiqah dan sabiil yang kesemuanya berarti jalan atau cara.
            Sesuatu dikatakan madzhab bagi seseorang jika cara atau jalan tersebut menjadi cirri khasnya. Menurut para ulama dan ahli agama Islam, yang dinamakan madzhab adalah metode (manhaj) yang dibentuk setelah melalui pemikiran dan penelitian, kemudian orang yang menjalaninya menjadikannya sebagai pedoman yang jelas batasan-batasannya, bagian-bagiannya, dibangun di atas prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah. Dengan demikian ,madzhab shahabat adalah jalan yang ditempuh para shahabat.
            Pengertian madzhab menurut istilah dalam kalangan umat Islam ialah : Sejumlah dari fatwa-fatwa dan pendapat-pendapat seorang alim besar di dalam urusan agama, baik ibadah maupun lainnya. Dalam buku Nasrun Harun, mengungkapkan Madzhab Shahabi berarti “pendapat para shahabat Rasulullah SAW. Yang dimaksud pendapat Shahabat adalah pendapat para Shahabat tentang suatu kasus yang dinukil para Ulama, baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum, sedangkan ayat atau hadits tidak menjelaskan hukum terhadap kasus yang dihadapi Shahabat tersebut.
            Dari sini dapat disimpulkan bahwa pengertian dari madzhab adalah : jalan yang ditempuh oleh para shahabat dalam menempuh atau mentapkan hukum Islam, yaitu berdasarkan qur’an, sunnah dan ijtihad. Jadi madzhab shahabi adalah jalan yang ditempuh oleh para shahabat dalam menetapkan hukum Islam berdasarkan Al-Qur’an, sunnah dan hadits. Sedangkan qaul shahabi ialah fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh shahabat Nabi SAW, menyangkut hukum masalah-masalah yang tidak diatur dalam nash, baik kitab maupun sunnah.[2]
B. Pengertian Shahabat
          Menurut Jumhur Fuqaha, Shahabat adalah orang-orang yang bertemu Rasulullah SAW, yang langsung menerima risalahnya, dan mendengar langsung penjelasan syari’at dari beliau sendiri. Oleh karena itu Jumhur Fuqaha telah menetapkan bahwa pendapat mereka dapat dijadikan hujjah sesudah dalil-dalil nash.[3]
            Dalam pandangan Muhammad Al-Khatib, Shahabat adalah setiap orang Islam yang hidup bergaul dengan Nabi SAW dalam waktu yang cukup lama dan menimba ilmu darinya, seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Aisyah, Abdullah bin Mas’ud, Zaid bin Tsabit dan Abdullah yang bersumber dari Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW, kepada generasi sesudahnya.[4]
            Menurut ulama hadist, shahabat ialah orang yang pernah bertemu dengan Nabi dan wafat dalam keadaan Islam. Ahli hadist mensyaratkan pernah bertemu dengan Nabi. Dan syarat yang mutlak harus ada pada shahabat itu ialah ia wafat dalam keadaan Islam. Sekalipun prang tersebut bisa menyertai Nabi, namun jika mati tidak dalam keadaan Islam, maka tidak disebut shahabat. Seperti paman Nabi, Abu Thalib. Tetapi ada yang memperlonggar syarat itu dengan cukup pernah hidup semasa dengan  Nabi, meskipun tidak pernah bertemu Nabi secara berhadap-hadapan.
            Pendapat yang lain mengatakan bahwa shahabat adalah orang-orang yang bertemu Rasulullah SAW, yang langsung menerima risalahnya, dan mendengarkan langsung penjelasan syari’at dari beliau sendiri. Para ahli ushul fiqh menetapkan bahwa pendapat mereka dapat dijadikan hujjah sesudah dalil-dalil nash
            Menurut pandangan ahli ushul, yang disebut shahabat adalah seseorang dan hidup bersamanya dalam waktu yang panjang, dijadikan rujukan oleh generasi sesudahnya dan mempunyai hubungan khusus dengan Rasulullah SAW. Sehingga secara adat dinamakan sebagai shahabat. Ada pula ulama yang mempersingkat identitas shahabat itu dengan “orang-orang yang bertemu dan beriman kepada Nabi Muhammad SAW, serta hidup bersamanya dalam waktu yang cukup lama.
            Bahkan menurut Badran, ada ulama yang menambah persyaratan untuk disebut shahabat dalam hubungannya dengan hukum syara’ yaitu pada dirinya terdapat bakat atau bawaan (malakah) dalam bidang fiqh, sehingga tidak semua orang yang menyertai kehidupan Nabi disebut shahabi dalam pengertian ushuliyun (ulama ahli ushul).
C. Bentuk  Qaul Shahabi
          Abu Zahrah menguraikan beberapa kemungkinan bentuk Qaul Shahabi:
a. Apa yang disampaikan shahabat itu adalah suatu berita yang didengarnya dari                   Nabi, namun ia tidak  menjelaskan bahwa berita itu sebagai sunnah Nabi.
b. Apa yang disampaikan shahabat itu sesuatu yang dia dengar dari orang yang pernah mendengarnya dari Nabi, tetapi tidak ada penjelasan dari orang tersebut bahwa yang didengarnya berasal dari Nabi.
c. Apa yang disampaikan shahabat itu adalah hasil pemahamannya terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang orang lain tidak memahaminya.
d. Apa yang disampaikan shahabat itu sesuatu yang sudah disepakati oleh lingkungannya, namun yang menyampaikannya hanya shahabat tersebut seorang diri.
e. Apa yang disampaikan shahabat itu adalah hasil pemahamannya atas dalil-dalil, karena kemampuannya dalam bahasa dan dalam  penggunaan dalil lafadz.
            Imam Ibnu Qayyim di dalam kitabnya I’lamul Muwaqqi’in menyatakan bahwa fatwa shahabat tidak keluar dari 6 bentuk:
a. Fatwa yang didengar sahabat dari Nabi.
b. Fatwa yang didasarkan dari oramg yang mendengar dari Nabi.
c. Fatwa yang didasarkan atas pemahamannya terhadap al-qur’an yang agak kabur pemahaman ayatnya bagi kita.
d. Fatwa yang disepakati oleh tokoh shahabat sampai kepada kita melalui seorang shahabat.
e. Fatwa yang didasarkan kepada kesempurnaan ilmunya, baik bahasa maupun tingkah lakunya, kesempurnaan ilmunya tentang keadaan Nabi dan maksud-maksudnya. Kelima hal ini adalah hujjah yang wajib diikuti.
f. Fatwa yang berdasarkan pemahaman yang tidak datang dari Nabi dari salah pemahamannya, maka hal ini tidak menjadi hujjah.[5]
 D. Kehujjahan Qaul Shahabi
          Maksud kehujjaha di sini adalah kekuatan yang mengikat untuk dijalankan umat Islam, sehingga akan berdosa jika meninggalkannya, sebagaimana berdosanya meninggalkan perintah Nabi. Pembicaraan tentang apakah Qaul Shahabi itu menyangkut beberapa segi pembahasan, yaitu :
(1)   Pembahasan dari kehujjahannya terhadap sesama shahabat yang lain, dan kehujjahannya terhadap genarasi berikutnya atau orang  yang selain shahabat.
(2) Pembahasan dari segi bentuk qaul shahabi, dapat dibedakan antara   kemungkinannya berasal dari ijtihad pribadi shahabat tersebut atau melalui cara lai
            Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini, yaitu:
1.      Pendapat shahabat yang berada di luar lingkup ijtihad, meskipun secara terang tidak disebutkan berasal dari Nabi, dapat menjadi hujjah. Bila terdapat dua pendapat atau lebih yang berbeda dalam bentuk ini, maka diselesaikan dengan cara atau metode yang lazim (berlaku).

2.      Pendapat shahabat dalam lingkup ijtihad, tentang kehujjahannya tergantung untuk siapa pendapat shahabat itu diberlakukan. Para ulama sepakat bahwa pendapat shahabat dalam bentuk ini tidak menjadi hujjah untuk sesama sahabat lainnya, baik ia seorang imam, hakim atau mufti. Kesepakatan ulama ini dinukilkan oleh kebanyakan ahli ushul, diantaranya oleh al-Amidi. Juga dinukilkan oleh dua pakar ushul fiqh, yaitu : Ibn Subki dan al-Asnswi, yang mengajukan argumentasi sebagai berikut :

a. Bila shahabat yang lain itu adalah mujtahid, maka pendapat seorang shahabat             tidak dapat diberlakukan bagi shahabat lainnya itu, karena seorang mujtahid tidak boleh bertaqlid kepada yang sesame shahabat lainnya. Kalau shahabat lain itu bukan mujtahid, tentu ia menjadi muqallid (bertaklid), namun hal ini lemah sifatnya karena hal ini juga berlaku untuk kalangan orang yang bukan mujtahid.
b. Ada ijma’ di kalangan sahabat yang membolehkan seorang shahabat berbeda pendapat dengan shahabat lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa pendapat seorang shahabat tidak mempunyai kekuatan yang mengikat terhadap shahabat lainnya. Tidak ada celaan dari seorang shahabat terhadap shahabat lainnya bila ia tidak seoendapat. Hal ini menunjukkan bahwa pendapat seorang shahabat tidak mempunyai kekuatan yang mengikat bagi shahabat lainnya.

             Dalam menentukan kehujjahan atau kekuata Qaul Shahabi sebgaiai dalil hukum terkait dengan bentuk dan asal fatwa shahabat. Dalam hal ini, pendapat ahli ushul fiqh tentang bentuk fatwa shahabat dapat dijadikan sebagai tolak ukur menentukan hal itu.
             Menurut Abdul Karim Zaidan, fatwa atau pendapat sahabat dapat dibagi kepada empat macam, yaitu:
1.Fatwa shahabat yang bukan berasal dari hasil ijtihadnya. Para ulama tidak berbeda pendapat dalam menjadikan fatwa shahabat seperti ini sebagai hujjah dalam menentukan hukum bagi generasi sesudahnya. Misalnya fatwa Ibnu Mas’ud tentang batas minimal waktu haid tiga hari dan batas minimal mas kawin sebanyak sepuluh dirham. Fatwa-fatwa shahabat seperti ini, diduga kuat bukan hasil ijtihad sahabat, tetapi mereka terima langsung dari Nabi SAW.
 2.Fatwa sahabat yang disepakati secara tegas dikalangan mereka yang dikenal dengan ijma’ shahabat. Fatwa shahabat seperti ini merupakan hujjah dan mengikat bagi generasi sesudahnya.
3. Fatwa shahabat secara individu tidak mengikat shahabat yang lain. Oleh sebab itu, tidak jarang para mujtahid di kalangan shahabat berbeda pendapat dalam suatu masalah
.4. Fatwa shahabat secara individu berasal dari hasil ijtihadnya dan tidak terdapat  kesepakatan shahabat tentangnya. Mengenai hal ini terjadi perbedaan pendapat ulama, apakah fatwa tersebut mengikat generasi berkembang beberapa pendapat dikalangan ulama.
D. Pendapat Ulama Berkenaan Dengan Kehujjahan Qaul Shahabi
Sebagian ulama menyatakan bahwa ada dua macam pendapat shahabat yang dapat dijadikan hujjah, yaitu :

a.Pendapat para shahabat yang diduga keras bahwa pendapat tersebut sebenarnya berasal dari Rasulullah SAW, karena pikiran tidak atau belum dapat menjangkaunya, seperti ucapan Aisyah RA, yang artinya :
“Kandungan itu tidak akan lebih dari dua tahun dalam perut ibunya, (yaitu tidak akan)  lebih dari sepanjaang bayang-bayang benda yang ditancapkan.” (HR. Daraquthni).

b. Pendapat shahabat yang tidak ada shahabat lain yang menyalahkannya, seperti pendapat tentang bahwa nenek mendapat seperenam (1/6) bagian waris, yang dikemukakan oleh Abu Bakar, dan tidak ada shahabat yang tidak sependapat denganny
Sedang pendapat shahabat yang tidak disetujui oleh shahabat yang lain tidak disetujui oleh shahabat yang lain tidak dapat dijadikan hujjah. Pendapat ini dianut oleh golongan Hanafiyah, Malikiyah dan Ahmad bin Hanbal dan sebagian Syafi’iyah, dan didahulukan dari qias. Bahkan Ahmad bin Hanbal mendahulukannya dari hadits mursal dan hadits dha’if.
As-Syaukani menganggap pndapat shahabat itu seperti pendapat para mujtahid yang lain, tidak harus kita mengikutinya.[6]
 Para ulama berbeda pendapat mengenai kehujjahan pendapat shahabat bagi orang lain yang selain shahabat, seperti: tabi’in (generasi sesudah shahabat), tabi’itabi’in (generasi sesudah tabi’in) dan generasi berikutnya :

1.Pendapat kalangan ulama yang terdiri dari dari ulama Asy’ariyah dan Mu’tazilah, Imam Syafi’I dalam satu qaulnya, Ahmad dalam satu riwayatnya, dan al-Karakhi dari ulama Malikiyah. Mereka mengatakan bahwa pendapat shahabat yang berasal dari ijtihadnya tidaklah menjadi hujjah bagi generasi sesudahnya. Pendapat inilah yang dipilih oleh al-Amidi.

Mereka mengemukakan argument sebagai berikut :

a.Firman Allah dalam surat al-Nisa’ ayat 59 yang artinya :”Jika kamu berselisih pendapat, kembalikanlah kepada Allah dan Rasul.”
Dalam ayat ini ada perintah Allah untuk mengembalikan urusan kepada Allah dan Rasul bila terdapat perselisihan pendapat. Seandainya boleh mengambil pendapat shahabat, tentu Allah akan menyuruh umat berbuat demikian.
b.Ijma’ shahabat tentang kebolehan beda pendapat anatara sesame shahabat. Seandainya pendapat seorang shahabat itu menjadi hujjah, tentunya seorang shahabat wajib mengikuti yang lain, dan ini adalah mustahil.
c.Shahabat mengemukakan pendapatnya berdasarkan hasil ijtihadnya, sehingga ada kemungkinan pendapatnya itu salah. Karenanya, pendapat shahabat itu tidak berdaya hujjah terhadap orang lain.

d.Para shahabat terkadang berbeda pendapat dalam beberapa masalah :
Sebagian shahabat mengikuti pendapat yang berbeda dengan pendapat shahabat yang lain. Kalau setiap pendapat shahabat itu menjadi hujjah terhadap shahabat yang lain dan orang-orang sesudahnya, tentu hujjah-hujjah Allah itu berbeda atau berbenturan satu sama lain. Mengikuti pendapat sebagian shahabat tidaklah lebih dibandingkan dengan pendapat shahabat yang lain.      

Al-Ustadz Abdul Wahab Khalaf di dalam Ilmu Ushul Fiqh  hujjah di dalam hal yang bersifat sam’I dan bukan ‘aqli, karena para sahabat akan mendasarkan pendapatnya kepada apa yang didengar dari Rasulullah, dan kedua, tidak ada perbedaan pendapat pula bahwa segala yang disepakati para shahabat adalah hujjah karena kesepakatan mereka atas sesuatu kasus adalah bukti bahwa menyandarkan pendapatnya kepada dalil yang tegas/pasti, seperti  hak 1/6  bagian kepada nenek/jadat.[7]
                                                                                                            Pendapat kalangan ulama yang terdiri dari: Malik ibn Anas, al-Razi, al-Barza’I dari shahabat Abu Hanifah, al-Syafi’I dalam satu qaulnya (qaul qadim), dan Ahmad dalam salah satu riwayatnya. Mereka berpendapat bahwa pendapat shahabat itu menjadi hujjah secara mutlak. Mereka mengemukakan argument sebagai berikut:

a.Firman Allah dalam surat Ali ‘Imran ayat 110, yang artinya:”Kamu adalah umat terbaik  yang dikeluarkan kepada manusia, menyuruh berbuat ma’ruf.”
b.Sabda Nabi:”Para shahabatku adalah bintang gemintan ; siapapun yang kamu ikuti kamu akan mendapat petunjuk.”
Hadist ini mengisyaratkan untuk mengikuti apa yang diberikan oleh shahabat Nabi. Hal ini menunjukkan kehujjahan pendapat yang disampaikan oleh shahabat.

            Pendapat kalangan ulama yang tidak bersikap secara mutlak (pasti) dalam menerima atau menolak pendapat shahabat; artinya: menerima dalam bentuk tertentu dan menolak yang lainnya. Rincian pendapat mereka adalah sebagai berikut:

a.Pendapat shahabat dapat berdaya hujjah bila pendapat itu bertentangan dengan qiyas. Alasannya adalah seperti yang dikemukakan al-Mahalli, bahwa para shahabat itu biasa beramal dengan qiyas, kecuali bila menemukan dalil lain yang lebih kuat yang mendorongnya untuk tidak menggunakan qiyas, baik dalam bentuk nash maupun dalam bentuk ijma’. Bila seorang shahabat menyalahi qiyqs, maka kemungkinan besar (kuat dugaan) bahwa ia mempunyai dalil yang lebih kuat. Bila pendapatnya sama dengan qiyas, maka kemungkinan pendapatnya berlandaskan qiyas. Dalam keadaan ini, maka qiyas itulah yang menjadi hujjah, dan bukan pendapat pribadi shahabat tersebut.

b. Pendapat shahabat yang didukung oleh qiyas qarib dapat menjadikan hujjah, karena pendapat tersebut telah mendapat kekuatan oleh kesamaannya dengan qiyas.

c. Pendapat shahabat dapat menjadi hujjah bila pendapatnya itu telah tersebar dan tidak ditemukan ada pendapat lain yang menyanggahnya. Pendapat ini muncul di kalangan ulama yang tidak menerima ijma’ sukuti sebagai dalil yang berdiri sendiri. Jika ada pendapat pribadi seorang shahabat, meskipun pendapat itu telah tersebar luas dan tidak ada yang membantahnya, tetapi tetap masih bernama pendapat pribadi shahabat, bukan ijma’ sukuti dari shahabat. Pendapat shahabat menjadi hujjah bukan karena ia telah menjadi ijma’ shahabi, tetapi karena pendapat pribadi shahabat itu secara jelas tidak ada yang menyanggahnya.

            Dalam beberapa literature ushul fiqh, dikemukakan pendapat para ulama yang berpandangan bahwa kehujjahan pendapat shahabat itu adalah secara terbatas bagi shahabat-shahabat tertentu saja. Beberapa pendapat mereka adalah sebagai berikut:

1.Pendapat shahabat yang berdaya hujjah hanyalah bila lahir dari Abu Bakar dan Umar ibn Khattab bersama-sama. Dasarnya adalah hadits Nabi yang artinya; “Ikutilah dua orang sesudahku yaitu Abu Bakar dan Umar.” Hadits ini dinyatakan hasan oleh al-Tarmidzi.

2.Pendapat empat orang dari khulafa al-Rasyidin menjadi hujjah dan tidak dari shahabat lainnya. Dasarnya adalah hadits Nabi yang dishahihkan oleh al-Tarmidzi: “Adalah kewajibannya untuk mengikuti sunnahku dan sunnah Khulafa al-Rasyidin yang dating sesudahku”.

3.Pendapata salah seorang Khulafa al-Rayidin selain Ali menjadi hujjah. Pendapat ini dinukilkan dari al-Syafi’i. Tidak dimasukkannya Ali dalam kelompok shahabat ini oleh al-Syafi’I bukan karena kurang dari segi kualitasnya dibandingkan pendahulunya, tetapi karena setelah menjadi khalifah ia memindahkan kedudukannya ke Kufah dan waktu itu para shahabat yang biasa menjadi narasumber bagi khalifah dalam forum musyawarah pada masa sebelum Ali sudah tidak ada lagi.

4.Pendapat dari shahabat yang mendapat keistimewaan pribadi dari Nabi menjadi hujjah bila ia berbicara dalam bidang keistimewaannya itu, seperti Zaid ibn Tsabit dalam bidang faraid (hokum waris); Muaz ibn Jabal dalam bidang hokum di luar faraid, dan Ali ibn Abi Thalib dalam masalah peradilan.

            Di kalangan ulama yang menerima kehujjahan pendapat shahabat secara mutlak, muncul perbedaan pendapat dalam menempatkannya bila ia berhadapan dengan qiyas:
1.Ulama yang berpendapat bahwa pendapat shahabat itu menjadi hujjah  dan berada di atas qiyas sehingga kalau terjadi perbenturan antara keduanya, maka yang harus didahulukan adalah pendapat shahabat atas qiyas. Berdasarkan pendapat ini bila ada dua pendapat shahabat yang berbeda dalam satu masalah, maka penyelesaiannya adalah sebagaimana penyelesaian dua dalil yang bertentangan, yaitu melalui tarjih (mencari dalil terkuat).
2.Ulama yang berpendapat bahwa pendapat shahabat itu menjadi hujjah, namun kedudukannya di bawah qiyas dan bila terjadi perbenturan di antara keduanya, maka harus didahulukan qiyas atas pendapat shahabat.
            Berdasarkan pendapat kedua di atas, apakah pendapat shahabat itu dapat digunakan untuk mentakhsis umumnya dalil lafaz suatu hokum. Dalam hal ini para ulama juga berbeda pendapat:
1.Ulama yang membolehkan untuk mentakhsis umumnya dalil sebagaimana berlaku terhadap dalil-dali lain yang berdaya hujjah.
2.Ulama lainnya berpendapat tidak boleh untuk mentakhsis umumnya dalil, karena para sahabat biasa meninggalkan pendapatnya bila mendengar dalil yang umum.
            Di kalangan ulama yang menolak kehujjahan qaul shahabi berbeda pendapat pula dalam hal apakah orang (generasi) sesudah shahabat boleh bertaqlid kepada shahabat. Dalam hal ini ada dua pendapat:
1.Muhaqqiq, sebagaimana dikatakan Imam al-Haramain dalam kitabnya al-Burhan, mengatakan tidak boleh. Alasannya adalah bahwa tidak kuatnya kepercayaan pendapat shahabat tersebut, sebab pendapatnya tidak pernah dibukukan. Lain halnya dengan pendapat Imam Mujtahid yang empat, umpamanya, yang pendapatnya telah dibukukan oleh para muridnya. Hal ini bukan karena kualitas ijtihad imam yang empat lebih tinggi dari ijtihadnya shahabat. Pendapat seperti ini sejalan dengan pendapat al-Syafi’I dalam qaul jadid (pandangan baru)nya.
2.Membolehkan secara mutlak dengan alas an rasional bahwa bila orang boleh bertaqlid kepada seorang mujtahid sesudah masa shahabat, tentu akan lebih boleh lagi bertaqlid kepada mujtahid shahabat.
3.Qaul qadim (pendapat lama) dari al-Syafi’I mengatakan boleh bertaqlid kepada shahabat asalkan pendapatnya itu sudah tersebar luas meskipun tidak dibukukan.
            Dalam menetapkan fatwa-fatwa shahabat sebagai hujjah, Jumhur fuqaha mengemukakan beberapa argumentasi, baik dengan dalil aqli maupun dalil naqli. Adapun dalil-dalil naqli adalah sebagai berikut:
1.Firman Allah SWT dalam surat at-Taubah ayat 100 yang artinya:”Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridla kepada mereka dan mereka pun ridla kepada Allah.”
            Dalam ayat ini Allah SWT memuji orang-orang yang mengikuti para shahabat. Sebagai konsekuensi logis dari pujian Allah SWT tersebut, berarti kita diperintahkan untuk mengikuti petunjuk-petunjuk mereka, dan karena itu fatwa-fatwa mereka dapat dijadikan hujjah.
2.Sabda Rasulullhah SAW yang artinya :”Saya adalah kepercayaan (orang yang dipercaya) sahabatku, sedang sahabatku adalah kepercayaan para umatku”.
            Kepercayaan ummat kepada para shahabat berarti menjadikan fatwa-fatwa shahabat sebagai bahan rujukan karena kepercayaan para shahabat kepada Nabi berarti kembalinya mereka kepada petunjuk Nabi Muhammad SAW.
Sedang argumentasi yang bersifat akal (rasional) ialah:
1.      Para shahabat adalah orang-orang yang lebih dekat kepada Rasulullah SWA disbanding orang lain. Dengan demikian, mereka lebih mengetahui tujuan-tujuan syara’, lantaran mereka menyaksikan langsung tempat dan waktu turunnya al-Quran, mempunyai keikhlasan dan penalaran yang tinggi, ketaatan yang mutlak kepada petunjuk-petunjuk Nabi, serta mengetahui situasi di mana nash-nash al-Quran diturunkan. Oleh karena itu, fatwa-fatwa mereka lebih layak untuk diikuti.
2.      Pendapat-pendapat yang dikemukakan para shahabat sangat mungkin sebagai bagian dari sunnah Nabi dengan alasan mereka sering menyebutkan hokum-hukum yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW. Tanpa menyebabkan bahwa hal itu dating dari Nabi, karena tidak ditanya sumbernya. Demgan kemungkinan tersebut, di samping pendapat mereka selalu didasarkan pada qiyas atau penalaran. Maka pandangan mereka lebih berhak untuk diikuti, karena pandangan tersebut kemungkinan besar berasal dari nash (hadist) serta sesuai dengan daya nalar  (rasional).
3.      Jika pendapat para shahabat didasarkan pada qiyas, sedang para ulama yang hidup sesudah mereka juga menetapkan hokum berdasarkan qiyas yang berbeda dengan pendapat shahabat, maka untuk lebih berhati- hati, yang kita ikuti adalah pendapat para shahabat. Karena Rasulullah SAW bersabda; “Sebaik-baik generasi, adalah generasiku dimana aku diutus oleh Allah dalam generasi tersebut”.
            Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa pendapat para shahabat lebih mendekati pada al-Quran dan Sunnah dibanding pendapat para ulama yang hidup sesudah mereka, dengan mengatakan : Bila seorang sahabat mengemukakan suatu pendapat, atau menetpkan suatu hokum, atau memberikan suatu fatwa, tentu ia telah mempunyai pengetahuan yang juga kita miliki. Adapun pengetahuan yang khusus diketahui shahabat, mungkin didengar langsung dari Rasulullah  SAW, atau didengar dari Rasulullah melalui shahabat yang lain. Pengetahuan yang hanya dimiliki oeh masing-masing sahabat banyak sekali, sehingga para shahabat tidak dapat meriwayatkan semua hadist yang didengar oleh Abu Bakar, Umar, dan tokoh-tokoh sahabat yang lain.  
            Diriwayatkan oleh ar-Rabi’, bahwa Imam Syafi’i dalam kitabnya ar- Risalah dan al-Umm (kitab yang baru), menunjukkan bahwa dalam menetapkan hokum, pertama tama Imam Syafi’I mengambil dasar dari al-Quran dan sunnah, kemudian pendapat yang telah disepakati oleh para shahabat. Setelah itu, pendapat-pendapat yang diperselisihkan tersebut tidak mempunyai hubungan yang kuat dengan al-Quran dan hadist, maka dia mengikuti apa yang dikerjakan oleh khulafa’ar-Rasyidin, karena pendapat mereka telah masyhur, dan pada umumnya sangat teliti.
            Demikian juga Imam Malik RA. Dalam kitabnya al-Muwaththa’ banyak sekali hokum-hukum yang didasarkan pada fatwa-fatwa shahabat. Imam Ahmad ibn Hanbal juga demikian.
            Imam asy-Syaukani berkata: “Sebenarnya, pendapat shahabat tidak dapat dijadikan hujjah. Karena Allah SWT hanya mengutus seorang Nabi kepada umat ini, yaitu Nabi Muhammad SAW, Rasul kita hanya satu, kitab kita juga hanya satu. Semua ummat Muhammad, baik dari generasi shahabat maupun generasi sesudahnya, semua diperintahkan untuk mengikuti kitab suci al-Quran dan Hadist. Oleh karena itu, barangsiapa berpendapat bahwa dalam agama Allah terdapat hujjah selain al-Quran, Sunnah dan sesuatu yang dikembalikan (diqiyaskan) kepada kedua hal tersebut, berarti ia mengada-adakan sesuatu dalam syari’at Islam yang tidak diperintahkan oleh Allah SWT adalah dosa besar dan kebohongan yang nyata”.
            Tidak diragukan lagi, bahwa pendapat asy-Syaukani di atas adalah dalam rangka menolak pendapat para shahabat. Suatu hal yang harus diketahui, bahwa sewaktu para imam madzhab mengikuti pendapat para shahabat, bukan berarti mereka menciptakan risalah baru selain risalah Nabi Muhammad, dan menganggap hujjah pada selain al-Quran dan Sunnah. Karena meskipun mereka mengambil pendapat para shahabat, mereka tetap berpegang teguh pada satu Nabi, satu Sunnah dan satu kitab suci al-Quran. Hanya saja mereka memandang bahwa para shahabat adalah orang-orang yang menguasai al-Quran dan meriwayatkan hadist-hadist Rasul kepada generasi sesudah mereka. Dengan demikian, mereka adalah orang-orang yang paling mengetahui tentang syari’at Allah dan paling dekat kepada petunjuk-Nya. Oleh karena itu, pendapat-pendapat mereka diperolah dari Rasulullah SAW, bukan bid’ah yang dibuat-buat serta pendapat yang disengaja diciptakan. Sebaliknya, pendapat-pendapat tersebut adalah bersumber dari nash-nash syara’, karena mereka adalah orang-orang yang paling mengetahui tentang sumber-sumber hokum dan arah serta tujuannya. Oleh karena itu, barangsiapa mengikuti mereka, ia termasuk orang-orang yang difirmankan Allah dalam surat at-Taubah:100, yang artinya: Dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik”.[8]  
             

           
               




           











  






.
    
                                                                                                                                          
                                                                        

                                                                              










[1] Muin Umar, Ushul Fiqh, Jakarta:  Departemen Agama, 1985, 163.
[2]Suryaputraalhikmah.blogspot.com/2012/03/qaul-shahabi.html.
  Tgl akses; 16 0ktober 2012, 10,45.
[3] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999, 328.
[4] Pwkpersis.wordpress.com/hujjiah-mazhab-as shahabi.html.
   Tgl akses; 16 oktober 2012, 11.10.
[5] A.Djazuli, Ushul Fiqh, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000, 212.
[6] Muin Umar, Ushul Fiqh, Jakarta: Departemen Agama, 163.
[7] Djazuli, Ushul Fiqh, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000, 211.
[8] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Pejaten Barat: Pustaka Firdaus, 1999, 333.

1 komentar: